Bangga Mengikuti Pandemi
Memaknai Pandemi ala Kami
Ketika bertemu bude Jamilah kemarin, tak terduga bude sedikit berorasi.
Begini :
Saudara-saudaraku sekomunitas. Keluarga besar surveilans dan Imunisasi.
Yakinlah ….
Kemudian berturut mengalir runtutan kata dan kalimat soal pandemi lengkap dengan jargon berat dan ringan versi beliau.
Pontang panting saya mencoba rangkum statement hasil hunting hati dan referensi beliau.
Begini …..
Kita harus bangga sebagai bagian Survim dimasa pandemi ini. Kita berkesempatan berperan mengawal dan menyaksikan gempita new emerging ini. Detik demi detik. Menit, hari, Minggu, dan bulan demi bulan.
Kita ikuti takzim trend ODR, ODP, PDP. Kasus berdasarkan usia, sex, wilayah, faktor risiko. Kita menjadi tahu persis AR, CFR, bahkan dilingkup terkecil sekitar kita.
Bermula ketika tahap memantau dari jauh hiruk pikuk di Wuhan, bergerak ke Asia Tenggara, masuk Indonesia. Kita menyaksikan para senior kita berjibaku tentang SOP, merevisi juknis, menggelontorkan surat edaran dan himbauan.
Saudaraku se seksi se bidang se peminatan
Kita pernah perih menahan berurai air mata (pun hingga saat ini), ketika harus melaporkan menulis rilease positif dari swab sanak saudara.
Kita tahu persis alam masih ber-stigma terhadap mereka. Dikira kutukan telah tiba. Dikira nestapa takkan sirna
Kawan
Kelak jika waktu telah berlalu, kita bisa bercerita pada anak cucu dan mantu. Nun ketika itu ditahun 2020 kita pernah ditimpa pagebluk virus. Wabah infeksius.
Wabah menular meluluh lantak tatanan kehidupan. Ketika itu orang menjadi enggan bertegur sapa, menjadi takut bersosial ria.
Wabah etika. Ketika anak harus tak lagi bersalam takzim pada orang tua. Ketika guru dilarang bertemu siswa. Ketika belajar tatap muka menjadi barang istimewa.
Pun Wabah ini telah menelikung kehidupan beragama. Ketika shaf sholat menjadi renggang. Ketika sepi menjalar di masjid, surau, musholla, gereja, dan wihara.
Kita nanar menyaksikan runtuhnya protap silaturrahim, jabat tangan, salam dan sapa. Kita tersenyum kecut dibalik dominasi masker di selubung mulut dan hidung kita.
Wabah juga menyeberang jalan raya. Saat sepi menyiksa kereta dan bandara. Ketika teman dan saudara harus meyakini test antibodi saat berkendara. Saat berwisata.
Kita pedih menahan hasrat gurauan akrab dengan teman dan handai taulan, ditelikung getir phisical distancing
Namun kita yakin, tuhan tetap maha perkasa. Kalkulasi Tuhan sangat presisi melihat semua bentuk ikhtiar kita.
Kawan,
Kita patut berbangga setidaknya kita bisa ikut mangayubagyo (menyambut) lahirnya output pandemi ini
Lahirnya obat dan vaksin baru …
Sesuatu yang dulu hanya sempat kita tahu melalui buku.
Melalui buku Kita tahu. Berderet wabah mengganas di seantero jagad.
Misalnya ketika polio melumpuhkan membunuh lebih setengah juta manusia di seluruh dunia setiap tahunnya pada era 1940-1950-an.
Cacar (10.000 SM – 1979)
Cacar sudah menjadi pandemik sejak tahun 10.000 sebelum Masehi dengan 300 juta korban jiwa.
Campak (Abad ke-7 SM – 1963)
Statistik menyebut, campak sebagai peringkat kedua wabah paling mematikan dengan korban 200 juta jiwa.
Flu Spanyol (1918-1920)
Dikenal sebagai pandemi flu pertama dan terbesar di dunia. Kebanyakan korban anak muda sehat. Pandemi ini berakhir Desember 1920, dengan 50 – 100 juta korban jiwa.
Black Death (1340 – 1771)
Dikenal sebagai pandemi paling mengerikan. Penyakit karena bakteri Yersinia pestisil ini disebarkan kutu binatang pengerat seperti tikus. Diakhir pandemi korban tercatat di Eropa sebanyak 75 juta jiwa.
HIV / AIDS (1981 – sekarang)
Hingga saat ini, para peneliti belum menemukan obat penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia ini. Dengan korban jiwa lebih 25 juta HIV/AIDS selalu menjadi momok setiap generasi
Dan masih beberapa pendemi besar lain yang selalu menjadi tonggak penemuan obat dan vaksin yang mengiringi.
Dimulai ketika tahun 1900, tercatat dua jenis vaksin virus untuk manusia berhasil rilease, vaksin cacar dan vaksin anti rabies. Tahun ini juga dihasilkan tiga vaksin dari bakteri untuk mencegah demam tifoid.
Kemudian ikutan setiap pandemi, ilmu pengetahuan dan teknologi kejar tayang berupaya kuat menemukan obat dan vaksin. Selalu demikian berulang.
Tercatat rapi dibuku kerja bude, alur sejarah program imunisasi diadopsi seluruh bangsa di bumi. Pun di tanah Pertiwi.Hampir keselurhan vaksin lahir tanpa obat ditemukan. Artinya berbagai jenis vaksin ini bekerja mencegah penyakit yang belum ditemukan obatnya, pun hingga saat ini.
Mengadopsi catatan Bude, detail lengkap sejarah vaksin itu:
1956 Imunisasi Cacar
1973 BCG
1974 Tetanus
1976 DPT
1980 Polio
1982 Campak
1997 Hepatitis B
2004 DPT/HB
2013 DPT/HB/Hib
2016 IPV, HPV
2017 MR, PCV,
2018 JE
Catatan Bude juga menulis, saat ini terdapat 9 jenis vaksin program (gratis disediakan negara), dan 21 vaksin lainnya beredar namun belum masuk vaksin program
Kembali ke pandemi covid …
Sebuah kesempatan langka kita dapat ikut menyaksikan para cerdik cendekia berburu galur dan strain di era covid-19 ini.
Sibuk menginokulasi biang virus. Telaten memupuk, semangat menekuk takluk. Berburu antigen dan antibodi.
Kita menyaksikan didepan mata, ribuan sanak saudara kita menjadi relawan uji klinis vaksin. Kita takzim menyaksikan para cerdik pandai berdebat soal protokol, alur, dan kajian ilmiah proses pembuktian sebuah klaim vaksin dan obat.
Pun kita menyaksikan dengan mata telanjang, para bangsa berlomba mencapai garis finish sebagai penemu vaksin covid ini. Demi kemanusiaan (atau kalkulasi ekonomi, wallahu a’lam, seloroh Bude)
Kita harus mencatat dan memaknai seluruh kejadian pandemi ini, sebagai bukti shahih ikhtiar umat menyelamatkan eksistensi. Dengan segala bentuk beda pendapat sebagai sebuah keniscayaan alam.
… Bersambung .. (jRenk’20)