Public Health

Community Led Total Sanitation (CLTS)

Prinsip, Tahapan, dan Tingkatan Partisipasi Masyarakat dalam CLTS

Menurut Blum (1974), derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Keempat faktor tersebut terkait antara yang satu dengan yang lain. Faktor lingkungan bersama faktor perilaku mempunyai pengaruh yang terbesar. Faktor perilaku dapat berasal dari perilaku individu maupun kelompok. Perilaku individu dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Walaupun upaya kesehatan sudah dilakukan maksimal tetapi bila lingkungan dan perilaku belum berkembang dengan baik, tidak menjamin peningkatan derajat kesehatan.

Terkait dengan perilaku buang air besar di jamban, diperkirakan 60% penduduk pedesaan hidup tanpa akses terhadap sanitasi yang layak, sehingga lebih tinggi risiko terpapar dari aspek kesehatan, juga kerugian terkait kesejahteraan. Cakupan sanitasi di daerah pedesaan belum membaik dalam tiga dekade, yang ditandai dengan praktek buang air besar sembarangan, baik ke badan air atau langsung ke tanah masih luas dilakukan (WSP, 2007).
Sanitasi dalam arti pembuangan higienis dari tinja, merupakan kebutuhan dasar manusia.  Namun, masih 2.4 miliar orang atau lebih dari separuh populasi negara berkembang masih belum akses pada fasilitas ini (WSP, 2004). Data akses sanitasi di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan menunjukkan bahwa lebih dari tiga puluh tahun,  akses cenderung tidak berubah. Berdasarkan Joint Monitoring Program WHO-UNICEF, akses terhadap sanitasi di perdesaan tetap pada angka 38 %. Dengan  laju perkembangan seperti ini, Indonesia akan gagal untuk mencapai target Millennium Development Goal  (MDG) untuk Sanitasi

Panduan CLTS Versi bahasa Indonesia
Panduan CLTS Versi bahasa Indonesia

Community Led Total Sanitation ( CLTS) adalah sebuah pendekatan dalam pembangunan sanitasi pedesaan dan mulai berkembang pada tahun 2001. Pendekatan ini berawal dari beberapa komunitas di Bangladesh dan saat ini sudah diadopsi secara massal di negara tersebut. Bahkan, di India disuatu negara bagiannya yaitu Propinsi Maharastha telah mengadopsi pendekatan CLTS ke dalam program pemerintah secara massal yang disebut dengan program Total Sanitation Campaign (TSC).

Community Led Total Sanitation (CLTS) adalah sanitasi total atas prakarsa masyarakat. Program ini merupakan program sanitasi yang menitikberatkan pada penyadaran masyarakat akan pentingnya sarana pembuangan air besar (jamban/kakus) untuk kesehatan pribadi dan penyehatan lingkungan.

Selama ini hasil beberapa program pembangunan sanitasi pedesaan didapatkan memperlihatkan hasil, banyak sarana yang dibangun tidak digunakan dan dipelihara oleh masyarakat. Berbagai faktor menjadi penyebab kegagalan ini, salah satu di antaranya adalah tidak adanya demand atau kebutuhan yang muncul ketika program dilaksanakan dan pendekatan yang digunakan oleh program tersebut tidak berhasil memunculkan demand atau kebutuhan dari masyarakat sasaran.

Pendekatan Community Led Total Sanitation (CLTS), diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2005. Fokus pembangunan adalah pencapaian outcome perubahan perilaku secara kolektip masyarakat dibantu dengan pendekatan yang tepat-guna untuk memicu perubahan. Hal ini selaras dengan keyakinan masyarakat mencapai tujuan outcome adalah lingkungan yang bebas dari buang air disembarang tempat.

Pendekatan pembangunan jamban keluarga dengan metode pendekatan Community Led Total Sanitation (CLTS) ini adalah dengan pola pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk menganalisis keadaan dan risiko pencemaran lingkungan yang disebabkan buang air besar di tempat terbuka dan membangun jamban tanpa subsidi dari luar. Program ini disampaikan kepada masyarakat dengan mengacu kepada pemahaman dan bahasa mereka sendiri. Peran perempuan disini penting karena mereka lebih mempunyai rasa malu apabila dibandingkan dengan laki-laki.

Beberapa tahap pada pelaksanaan Community Led Total Sanitation (CLTS) antara lain :

  1. Perkenalan dan Penyampaian Tujuan: Perkenalkan anggota tim fasilitator kepada masyarakat yang hadir, sampaikan maksud dan tujuan bahwa tim ingin melihat kondisi sanitasi. Diawali dengan perkenalan, kemudian tim menjelaskan bahwa kedatangannya bukan untuk memberikan penyuluhan apalagi memberikan bantuan. Tim hanya ingin melihat dan mempelajari bagaimana kehidupan masyarakat, bagaimana masyarakat mendapatkan air bersih, bagaimana masyarakat melakukan kebiasaan buang air besar, dan lain-lain.
  2. Bina suasana: Untuk menghilangkan jarak antara fasilitator dan masyarakat sehingga proses fasilitasi berjalan lancar, sebaiknya dilakukan pencairan suasana. Pada saat itu didapatkanlah istilah setempat untuk tinja.
  3. Analisa partisipatif dan pemicuan: Permulaan proses pemicuan di masyarakat, yang diawali dengan analisis partisipatif misalnya melalui pembuatan peta desa/ dusun/ kampung yang akan menggambarkan wilayah buang air besar (BAB) di sembarang tempat. Proses fasilitasi CLTS di masyarakat pada prinsipnya adalah pemicuan terhadap rasa jijik, rasa malu, rasa takut sakit, rasa berdosa, rasa tangggung jawab yang berkaitan dengan kebiasaan buang air besar (BAB) di sembarang tempat. Untuk membantu proses pemicuan tersebut digunakan komponen PRA (Participatory Rural Appraisal) antara lain dengan Pemetaan,Transek Walk, Alur kontaminasi (oral fecal), serta Simulasi air yang telah terkontaminasi.
  4. Tindak lanjut oleh masyarakat: Jika masyarakat sudah terpicu dan terlihat ingin berubah, maka saat itu juga susun rencana tindak lanjut oleh masyarakat. Semangati masyarakat bahwa mereka dapat 100% terbebas dari kebiasaan buang air besar di sembarang tempat.
  5. Monitoring: Monitoring paling efektif dengan teknik pengawasan di antara mereka sendiri, sehingga monitoring oleh pendamping lebih kepada memberikan semangat dan dorongan kepada masyarakat

Prinsip-prinsip yang fundamental dan tidak dapat dinegosiasi dalam Community Led Total Sanitation (CLTS) adalah sebagai berikut:

  1. Tanpa subsidi kepada masyarakat
  2. Tidak menggurui, tidak memaksa dan tidak mempromosikan jamban
  3. Masyarakat sebagai pemimpin
  4. Totalitas; seluruh  komponen masyarakat terlibat dalam analisa permasalahan, perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan dan pemeliharaan

Tiga pilar utama dalam Participatory Rural Appraisal (PRA) yang merupakan basis CLTS antara lain meliputi beberapa komponen, antara lain Attitude and behaviour change (perubahan sikap dan perilaku), Sharing (berbagi), serta Method (metode). Ketiganya merupakan pilar utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan CLTS. Namun dari ketiganya yang paling penting adalah perubahan sikap dan perilaku, karena jika sikap dan perilaku tidak berubah maka kita tidak akan pernah mencapai tahap sharing dan sangat sulit untuk menerapkan metode.

Sikap dan perilaku yang dimaksud dan harus berubah adalah sikap dan perilaku fasilitator.

  1. Pandangan bahwa ada kelompok yang berada di tingkat atas (upper) dan kelompok yang berada di tingkat bawah (lower). Cara pandang upper lower harus diubah menjadi pembelajaran bersama, bahkan menempatkan masyarakat sebagai guru karena masyarakat sendiri yang paling tahu apa yang terjadi dalam masyarakat itu.
  2. Cara pikir bahwa fasilitator datang bukan untuk memberi sesuatu tetapi menolong masyarakat untuk menemukan sesuatu.
  3. Bahasa tubuh atau gesture; sangat berkaitan dengan pandangan upper lower. Bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa seorang fasilitator mempunyai pengetahuan atau keterampilan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat, harus dihindari.

Perubahan sikap dan perilaku tersebut harus total, yang di dalamnya meliputi Perilaku personal atau individual, Perilaku institusional atau kelembagaan, serta Perilaku profesional atau yang berkaitan dengan profesi,

Ketika sikap dan perilaku (termasuk cara pikir dan bahasa tubuh) dari fasilitator telah berubah maka sharing akan segera dimulai. Masyarakat akan merasa bebas untuk mengatakan apa yang terjadi di komunitasnya dan mereka mulai merencanakan untuk melakukan sesuatu.

Setelah masyarakat dapat berbagi, maka metode mulai dapat diterapkan. Masyarakat secara bersama-sama melakukan analisis terhadap kondisi dan masalah masyarakat tersebut.

Dalam CLTS fasilitator tidak memberikan solusi. Namun, ketika metode telah diterapkan (proses pemicuan telah dilakukan) dan masyarakat sudah terpicu sehingga di antara mereka sudah ada keinginan untuk berubah tetapi masih ada kendala yang mereka rasakan misalnya kendala teknis, ekonomi, budaya, dan lain-lain maka fasilitator mulai memotivasi mereka untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik, misalnya dengan cara memberikan alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut. Usaha atau alternatif yang akan digunakan, semuanya harus dikembalikan kepada masyarakat tersebut.

Dalam CLTS masyarakat tidak diminta atau disuruh untuk membuat sarana sanitasi tetapi hanya mengubah perilaku sanitasi mereka. Namun pada tahap selanjutnya ketika masyarakat sudah mau merubah kebiasaan buang air besarnya sarana sanitasi menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan.

Beberapa poin penting dalam sebuah community led antara lain : Inisiatif masyarakat; Total atau keseluruhan, keputusan masyarakat dan pelaksanaan secara kolektif; Solidaritas masyarakat (laki-laki-perempuan, kaya miskin) sangat terlihat dalam pendekatan ini; Semua dibuat oleh masyarakat, tidak ada intervensi pihak luar, dan biasanya akan muncul natural leader.

Sedangkan system target driven pada  Community Led Total Sanitation (CLTS) sebagai Perbandingan Kecenderungan Orientasi Pendekatan Program Sanitasi selama ini antara lain sebagai berikut :

Program-program terdahulu (biasanya Target Oriented) Kecenderungan saat ini
Perkembangan jumlah sarana Perubahan perilaku dan kesehatan
Subsidi Solidaritas social
Model-model sarana disarankan oleh pihak luar Model-model sarana digagas dan dikembangkan oleh masyarakat
Sasaran utama adalah kepala keluarga Sasaran utama adalah masyarakat desa secara utuh
Top down Bottom up
Fokus pada: Jumlah jamban Fokus pada: Berhentinya BAB di sembarang tempat
Pendekatannya bersifat ‘blue print’ Pendekatannya lebih fleksibel.

Tingkatan partisipasi dalam CLTS
Dalam pendekatan CLTS, dan pendekatan partisipatif lainnya, partisipasi atau keterlibatan masyarakat, merupakan hal yang mutlak diperlukan. Adapun tingkatan partisipasi masyarakat, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut:

  1. Masyarakat hanya menerima informasi; keterlibatan masyarakat hanya sampai diberi informasi (misalnya melalui pengumuman) dan bagaimana informasi tersebut diberikan ditentukan oleh si pemberi informasi (pihak tertentu).
  2. Masyarakat mulai diajak untuk berunding; Pada level ini sudah ada komunikasi 2 arah, masyarakat mulai diajak untuk diskusi atau berunding. Dalam tahap ini, meskipun sudah dilibatkan dalam suatu perundingan, pembuat keputusan adalah orang luar atau orang-orang tertentu
  3. Membuat keputusan secara bersama-sama antara masyarakat dan pihak luar;
  4. Masyarakat mulai mendapatkan wewenang atas kontrol sumber daya dan keputusan

Dari keempat tingkatan partisipasi tersebut, yang diperlukan dalam CLTS adalah tingkat partisipasi tertinggi, yaitu masyarakat tidak hanya diberi informasi, tidak hanya diajak berunding tetapi sudah terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan bahkan sudah mendapatkan wewenang atas kontrol sumber daya masyarakat itu sendiri serta terhadap keputusan yang mereka buat. Dalam prinsip community led telah disebutkan bahwa keputusan bersama dan action bersama dari masyarakat itu sendiri merupakan kunci utama.

Refference, antara lain : Modul Panduan Praktek CLTS di Lapangan. Depkes RI. 2005.

Incoming Search Terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal