Epidemiologi Leptospirosis
Epidemiologi dan Etiologi Leptospirosis
Secara definisi, leptospirosis atau dengan beberapa nama lain seperti hemorrhagic jaundice, mud fever, weil fever, swineherd disease atau canicola fever, merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira. Leptospirosis dapat menular secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia dan bersifat anthropozoonosis. Manusia dalam hal ini merupakan terminal atau dead end infeksi (Widarso et al., 2008).
Menurut perkiraan WHO (2011), setiap tahun terjadi lebih dari 500.000 kasus leptospirosis di seluruh dunia, dengan Case Fatality Rate (CFR) < 5% s/d 30%. Penduduk dengan risiko terbesar tertular leptospirosis adalah masyarakat yang tinggal di daerah kumuh perkotaan serta buruh tani dan peternak di daerah pedesaan. Secara signifikan, kejadian leptospirosis juga lebih sering terjadi pada daerah beriklim tropis dibandingkan daerah dengan iklim sedang. Leptospirosis ini juga bersifat musiman dengan puncak kasus terjadi pada musim hujan.
Ternak dan binatang liar dapat menjadi reservoir atau sumber penularan leptospirosis seperti tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung dan insektivora seperti kelelawar, landak dan tupai. Sedangkan rubah dapat menjadi karier (Widarso et al., 2008).
Masih menurut WHO (2011), secara epidemiologi, leptospirosis tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi tertinggi menyerang petani dan masyarakat kumuh perkotaan. Kejadian leptospirosis berhubungan dengan faktor sosiokultural, pekerjaan dan lingkungan. Dampak terbesar terjadi pada daerah dengan sumber daya manusia yang rendah dengan iklim tropis dan sub tropis. Faktor risiko penyakit ini lebih tinggi pada daerah pedesaan karena karakteristik masyarakat bertani dan berternak dengan populasi ternak padat.
Di Indonesia, leptospirosis walaupun menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius tetapi masih kurang mendapat perhatian. Berdasarkan pengujian serologis, kemungkinan besar kasus disebabkan karena paparan reservoir hewan domestik seperti kucing, anjing dan sapi (Victoriano et al.,2009).
Menurut Subronto (2008), leptospirosis pada hewan, meskipun tersebar luas, kurang diperhitungkan sebagai penyebab penyakit utama untuk hewan-hewan asli di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada masa mendatang dapat dimungkinkan, leptospirosis pada manusia dan hewan akan lebih banyak ditemukan pada kawasan ini yang disebabkan karena import sapi atau babi dari daerah tropis
Secara Etiologi, leptospirosis disebabkan oleh genus Leptospira, ordo Spirochaetales. Leptospira terdiri dari dua spesies yakni L. interrogans yang bersifat pathogenik dan L. biflexa, yang lebih bersifat saprofitik. Kedua spesies tersebut terbagi dalam sejumlah serovar yang dibedakan dengan aglutinasi setelah absorbsi silang dengan antigen homolog. Jika pada saat uji ulangan terdapat lebih dari 10% titer homolog yang konsisten pada sekurang-kurangnya satu dari dua antisera maka dua strain tersebut dinyatakan sebagai dua serovar yang berlainan (Widarso et al., 2008).
Menurut Widarso et al (2008), leptospira berbentuk spiral dengan ukuran yang sangat kecil antara 0,1 µm x 0,6 µm sampai 0,1 µm x 20 µm, disertai dengan pilinan rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok seperti kait menyebabkan gerakannya sangat aktif seperti gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung. Masa hidup leptospira kurang lebih satu bulan di dalam air tawar, tetapi akan cepat mati dalam air laut, air selokan dan urin yang tidak diencerkan karena sifatnya yang peka terhadap asam.
Sedangkan menurut WHO (2003), leptospira merupakan bakteri aerob dengan suhu pertumbuhan optimum antara 28°C sampai 30°C. Leptospira memroduksi katalase dan oksidase dan dapat tumbuh dalam media yang diperkaya dengan vitamin B2, vitamin B12, asam lemak rantai panjang dan garam-garam ammonium.
Refference, antara lain:
Widarso, Gasem, H., Purba, W., Suharto, T. and Ganefa, S. (2008) Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Kasus Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Jakarta, Depkes RI
World Health Organization (WHO) (2011), Weekly Epidemiological Record, Geneva
Subronto (2008) Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mammalia), edisi ke 3, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
World Health Organization (WHO) (2003). Human Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control, International Leptospirosis Society, Malta : WHO