Menurut Shann, dkk (1999), setiap tahun dilaporkan ada sekitar dua juta dari 10 juta anak balita di dunia yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan hampir semua kasus (99%) terjadi di negara sedang berkembang. Sementara menurut Hadinegoro, dkk (2000), Imunisasi merupakan upaya preventif yang telah berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas beberapa penyakit infeksi pada bayi dan anak. Sehubungan dengan itu maka kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkanmorbiditas dan mortalitas. Peningkatan kebutuhan vaksin harus ditunjang pula oleh upaya perbaikan produksi vaksin dengan meningkatkan efektifitas dan keamanan vaksin.
Senada dengan pendapat diatas, menurut Chen (1999), pemberian imunisasi telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian suatu penyakit atau bahkan melenyapkan penyakit. Contoh keberhasilan imunisasi misalnya dengan keberhasilan menghilangkan penyakit cacar (variola) dari muka bumi sejak tahun 1978, yang dilakukan melalui program eradikasi penyakit cacar. Pola eradikasi cacar tersebut dapat diterapkan pada penyakit lain, yaitu pada penyakit yang dapat menimbulkan kematian dan kecacatan.
Tujuan pemberian vaksin adalah menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu antigen. KIPI adalah gejala yang tidak diinginkan yang terjadi setelah imunisasi. KIPI dapat juga dikaitkan dengan efek samping imunisasi atau secara kebetulan disebabkan oleh sebab lain dan diperlukan suatu penelitian dan analisa komprehensif untuk membedakan keduanya.
Secara definisi, KIPI adalah semua kejadian/insiden sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi. Sedangkan secara epidemiologi, KIPI akan tampak setelah pemberian vaksin dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui clinical trail atau uji klinis yang terdiri atas empat fase, yaitu:
Etiologi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan KIPI (Depkes RI, 2005 tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu, untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai
Berdaasarkan Kepmenkes diatas KOMNAS PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi klasifikasi lapangan dan kausalitas. Sementara gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya, makin cepat KIPI terjadi, gejala makin berat.
Berikut beberapa reaksi dan gejala KIPI menurut Chen (1999)
Reaksi Lokal
• Abses pada tempat suntikan
• Limfadenitis
• Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-it is
Reaksi SSP
• Kelumpuhan akut
• Ensefalopati
• Ensefalitis
• Meningitis
• Kejang
Reaksi lainnya
• Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
• Reaksi anafilaksis
• Syok anafilaksis
• Artralgia
• Demam tinggi >38,5oC
• Episode hipotensif-hiporesponsif
• Osteomielitis
• Menangis menjerit yang terus menerus (3 jam)
• Sindrom syok septik
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit, sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Oleh karena itu, toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat-obatan untuk orang sakit. Dengan mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, jika seorang anak telah mendapat imunisasi, ia perlu diobservasi beberapa saat sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI reaksi cepat. Untuk menghindarkan kerancuan gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu berdasarkan timbulnya gejala klinis (Depkes, 2005).
Sedangkan gejala klinis berdasarkan jenis dan saat timbulnya KIPI, antara lain sebagai berikut :
Jenis Vaksin | Gejala Klinis | Saat Timbul |
Toksoid Tetanus (DTP, DT, TT) |
| 4 jam2—28 hariTidak tercatat |
Pertusis whole-cell (DPwT) |
| 4 jam72 jamTidak tercatat |
Polio hidup (OPV) |
| 30 hari 6 bulan |
Hepatitis B |
| 4 jamTidak tercatat |
Menurut Heitjik. Dkk (2002), reaksi lokal paling sering terjadi pada pemberian vaksin inaktif, khususnya yang mengandung ajuvan, seperti vaksin DTP. Reaksi lokal biasanya terjadi beberapa jam setelah suntikan dan biasanya ringan serta dapat sembuh sendiri. Pada beberapa kasus, reaksi lokal dapat menjadi lebih parah. Ini dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas meskipun bukan alergi. Reaksi ini disebut reaksi arthus dan sering terjadi pada pemberian tetanus toksoid dan difteri. Reaksi arthus disebabkan oleh titer antibodi yang terlalu tinggi yang biasanya disebabkan oleh terlalu banyaknya dosis toksoid.
Reaksi sistemik berupa reaksi alergi dapat disebabkan oleh antigen vaksin sendiri, komponen vaksin seperti materi sel kultur, stabilisator, preservative, atau antibiotik yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Reaksi alergi yang parah dapat membahayakan jiwa, tetapi hal ini jarang terjadi. Berdasarkan estimasi dapat terjadi satu kasus dari setengah juta dosis. Reaksi alergi dapat diperkecil dengan melakukan skrining terlebih dahulu dengan wawancara sebelum dilakukan imunisasi.
Reaksi sistemik lebih merupakan gej ala umum, termasuk demam, malaise, mialgia, sakit kepala, hilangnya nafsu makan, dan lain-lain. Gejala ini dapat bersifat umum, tidak spesifik, dan dapat terjadi pada orang yang diimunisasi dapat disebabkan oleh vaksin atau oleh sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan vaksin, seperti infeksi virus lain. Reaksi sistemik sering terjadi pada pemberian vaksin sel utuh DTP Untuk menghindari reaksi KIPI sistemik berat, perlu dilakukan anamnesa apakah ada riwayat kejang pada keluarganya.
Sebuah kelaziman berlaku, bahwa keberhasilan imunisasi akan diikuti dengan pemakaian vaksin dalam dosis besar. Namun, pada perjalanan program imunisasi akan memacu proses maturasi (pematangan) persepsi masyarakat sehubungan dengan efek simpang vaksin yang mungkin timbul sehingga berakibat munculnya kembali penyakit dalam bentuk KLB. Menurut Chen (1999), fase maturasi perjalanan program imunisasi, antara lain mengikuti pentahapan berikut:
Namun sebenarnya pada tataran aplikasi akan sangat sulit mendapatkan data KIPI ini. Kesulitan ini terkait beberapa sebab, sebagaimana menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of Medicine (IOM) USA, antara lain karena :
Refference, antara lain :
Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies di lapangan Menurut Kemenkes (2017), penyakit rabies merupakan…
Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan Haji mencapai istithaah kesehatan jemaah haji untuk menuju Keluarga Sehat”(Petunjuk Teknis…
The Columbia University School of Public Health 40+ Guide to Good Health A guide to…
Tujuan dan Tahapan Penyelidikan Epidemiologi Covid-19 Sesuai Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19), Kemenkes…
Teori dan Tahap Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Belajar dari berbagai pendekatan pembangunan terdahulu, sebagian pendapat…
Tahap dan Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini Air Susu Ibu biasanya diberikan 30 menit setelah kelahiran…