Kampung Buzzer dan Influencer
Merdeka dan Berbudaya, dalam kampung Buzzer dan Influencer
Diam-diam Bude Jamilah miris membaca setiap helai komen pada salah satu media online terbesar di kampung Bude. Hampir seluruhnya kalimat sarkastik, cibiran, makian, umpatan, hujatan. Tidak solutif (dawuh bu tejo). Kata dan kalimat lebih pas dimasukkan kedalam jenis rumah bulliying.
Hampir tidak ditemukan kalimat adi luhung, standar masa lampau bude. Sebuah masa dimana orang masih sangat bangga jika memegang manual text book novel smooth Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah. Atau Bumi Manusia Promoedya Ananta Toer.
Masa sesudah itu, sesaat sebelum makhluk bumi dikuasai gelombang signal 3G, 4G, 5G, kita masih dimanjakan dengan text book novel yang kaya raya dengan gelombang kelembutan dan kecerdasan Budi. Boleh sebagian kita nukil, semacam Negeri Lima Menara-nya Ahmad Fuadi, atau Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Kita juga sempat diguyur novelis generasi awal melenial, semacam Dewi Lestari, Tere Liye, atau Dian Purnomo, dan berderet nama lainnya.
Pada sekuel waktu sesudah itu. Tiba-tiba dunia sudah dalam genggaman aplikasi smartphone. Dalam cengkeraman algoritma WhatsApp, telegram, IG, Twitter, Tiktok. Dibawah naungan gurita Google.
Maka saat itulah revolusi dimulai.
Hingga kini.
Revolusi itu ditandai dengan catatan tebal bude. Yakni setiap orang lintas usia dan generasi telah menjelma menjadi novelis, fotografer, reporter, bagi dirinya sendiri. Dan yang lebih mencengangkan, mereka mampu menciptakan pasar sendiri.
Dunia kemudian sepakat menamai wadah ekspresi mereka sebagai media sosial. Medsos.
Dari segi delivery idea, medsos jauh lebih efektif. Mampu bergerak menginfiltrasi seluruh sekat tatanan sosial.
Pada tahap selanjutnya, medsos berkolaborasi dengan sisa-sisa kejayaan media mainstream (televisi, koran cetak). Plus ditopang kuat media online. Maka menjelmalah menjadi gurita berita dengan sejuta anak cabang yang cepat mem-bom bardir informasi. Meluluh lantakkan opini. (Bude memperlihatkan banyak contoh kutipan/credit/uploaded) media besar dari sumber medsos pribadi)
Fakta dan fenomena medsos diatas kemudian ditangkap para investor dan broker (bisa apa saja) menjadi sebuah peluang. Cepat menggiring opini. Cepat mencapai tujuan visi dan misi. Dan seterusnya.
Maka lahirlah barisan para buzzer dan influencer.
Buzzer yang melembutkan hati
Keprihatian Bude pada gaya bahasa sarkastik pada kolom komentar berbagai media online, masih terpendam hingga kini. Belum menemukan partner diskusi.
Andaikan bude punya akses kepada para investor. Ingin beliau mewarnai bombardir informasi dan opini itu dengan bahasa sejuk. Kalimat yang menghembuskan kelembutan budi. Yang membuncahkan rasa kasih rasa sayang.
Namun sudah menjadi sebuah keniscayaan. An sich kita sudah terlanjur hidup pada era ini. Jaman online tanpa tepi. Jaman ketika kita sudah merasa menggemgam dunia saat memegang gawai. Kita terlanjur tergilas dalam ingar bingar kemerdekaan menulis komen dan status. Se merdeka berekspresi.
Sejatinya bude punya harapan besar, bahwa setiap kita dapat menjadi buzzer kebaikan. Segera penuhi setiap aplikasi dengan berita kebaikan dan empati. Ber-medsos, ber- fastabIqul khairat.
Beliau sudah mulai menciptakan standar tahapan kurikulum ber-medsos pada anak cucu putra putri sendiri.
- Tahap pertama, dengan nyaman beragama. Nyaman menjalankan perintah Nya atau menjauhi larangan Nya
- Kedua dengan proyek melembutkan hati. Bergaul dengan sastra, mendengarkan cerita tetangga sanak saudara.
- Ketiga, proyek bangga menjadi Indonesia. Dipraktikkannya dalam lirik dan nada budaya.
Selanjutnya, kau bisa leluasa keluar masuk algoritma media. Karena kau telah merdeka.
(jRenk’22)