Imunisasi Rutin

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

Berbagai Jenis Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 5% (1,7 juta) kematian pada anak balita akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sementara pada tahun 1972, sesuai laporan WHO, berdasarkan hasil evaluasi kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, diperkirakan setiap tahun sebanyak 5000 anak meninggal karena difteri dan penemuan kasus difteri tenggorok pada balita sebanyak 28.500 kasus.

Imunisasi sebagai upaya preventif yang harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memutus mata rantai penularan penyakit dan menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak individu itu terpapar oleh dengan penyakit tersebut tidak menderita sakit.

SOP ImunisasiImunisasi adalah suatu upaya atau proses untuk menimbulkan/ meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu antigen sehingga bila kelak individu itu terpapar oleh antigen serupa tidak akan terjadi penyakit. Tujuan jangka panjang dari upaya pelayanan imunisasi adalah eradikasi atau eliminasi suatu penyakit. Tujuan jangka pendek adalah pencegahan penyakit secara perorangan atau kelompok.

Banyak penyakit yang telah ditemukan vaksin sebagai upaya pencegahannya, tetapi tidak semua diajadikan program imunisasi nasional. Menurut Depkes RI (2005), beberapa pertimbangan untuk memasukkannya kedalam program antara lain adalah besarnya masalah yang ditimbulkan (disease burdens), keganasan penyakit, efektifitas vaksin, dan ketersedian vaksin. Upaya pencegahan penyakit melalui progran imunisasi lebih populer dengan sebutan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

Difteri

Gejala Difteri antara lain panas lebih kurang 38oC disertai adanya pseudo membran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Gejala juga dapat disertai nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi (stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri.

Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae; terdiri dari type gravis, mitis, dan intermedius. Gej ala klinik terjadi sebagai akibat kerja dari eksotoksin; masa inkubasi 2—5 hari. Penularan difteri melalui kontak air borne dari orang ke orang dan pada umumnya menyerang golongan umur di bawah 15 tahun. Reservoar difteri hanya manusia. Gejala klinis yang diakibatkannya dapat tidak nyata atau ringan sekali, yaitu berupa sedikit membran dalam rongga hidung (anterior nasal diphtheriae) sampai sangat berat dan dapat menyebabkan kematian (Papaevangelou, 1995).

Tanda khas yang membedakan difteri dengan penyakit saluran pernafasan lainnya adalah dengan terbentuknya pseudomembran dan mengeluarkan eksotoksin. Pseudomembran biasanya timbul lokal tapi kemudian bisa menjalar dari faring, tonsil, laring dan saluran nafas bagian atas. Eksotoksin yang dikeluarkan bakteri akan menyebabkan miokarditis bila sampai di otot jantung dan jika sampai mengenai jaringan saraf perifer akan mengakibatkan paralisis terutama otot-otot pernafasan, nekrosis fokal pada hati dan ginjal yang menyebabkan nefritis interstitial.

Toksin difteri dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu eksotoksin yang terdiri dari protein. Semua galur toksigenik Corynebacterium diphtheriae akan menghasilkan toksin yang identik. Suatu strain diphtheriae dapat menjadi toksigenik jika terinfeksi terlebih dulu oleh bakteri khusus (particular bakteri virus) yang disebut bakteriofage. Masuknya galur toksigenik Corynebacterium diphtheriae ke dalam suatu komunitas akan menyebabkan wabah difteri dengan cara transfer bakteriofage ke strain nontoksigenik yang berlangsung di saluran nafas.

Pada saat wabah baik strain toksigenik maupun nontoksigenik Corynebacterium diptheriae dapat diisolasi. Toksin Corynebacterium diphtheriae jika dipaparkan terhadap formaldehid dan panas akan kehilangan kemampuannya untuk menempel pada sel dan kehilangan aktivitas enzimatiknya, tetapi tetap mempertahankan sifat imunogenisitasnya. Tindakan inilah yang mengubah toksin diphtheriae menjadi toksoid yang dapat digunakan untuk tujuan imunisasi terhadap penyakit difteri. CFR difteri berkisar antara 5-10% dan mencapai > 20% pada kelompok umur <5 tahun dan >40 tahun. Angka ini hampir tak berubah dalam 50 tahun terakhir.

Difteri ditemukan di seluruh dunia, namun kasus klinis lebih banyak di daerah tropis dan subtropis. Imunisasi difteri pada bayi di Indonesia dimulai tahun 1977 dan pada anak sekolah tahun 1984. Sejak imunisasi di mulai insiden difteri jauh berkurang. Manusia dapat menjadi karier yang asimptomatik. Transmisi secara langsung dari orang ke orang melalui saluran pernapasan. Penularan dari lesi pada kulit atau materi yang tercemar cairan dari lesi kulit atau muntahan kasus difteri jarang terjadi. Penularan dapat terjadi sepanjang basil virulent ada pada lesi, bervariasi antara 2-4 minggu pada kasus yang tidak mendapat pengobatan dengan antibiotik. Seorang karier kronis dapat menebarkan organisme selama 6 bulan atau lebih.

Imunogenitas dan Vaccine Efficacy difteri Setelah 3 dosis primer toxoid dengan interval minimal 4 minggu, pada > 85% sasaran dicapai level protektif antitoxin dalam darah (>0.1 IU/ml). Reaksi lokal KIPI setelah pemberian toxoid umumnya adalah kemerahan (erythema) dan bengkak (indurasi) dengan atau tanpa nyeri, gej ala ini umumnya hilang tanpa memerlukan pengobatan. Benjolan mungkin masih teraba pada tempat suntikan selama beberapa minggu. Abses di lokasi suntikan mungkin terjadi. Demam sering terjadi, gejala sistemik lainnya jarang terjadi. Reaksi hipersensitivitas type arthus, yang ditandai dengan reaksi lokal yang lebih hebat, dapat terjadi, biasanya pada orang yang menerima terlalu banyak dosis difteri toxoid, sebelumnya. Reaksi ini disebabkan oleh tingginya kadar antibodi difteri yang bersirkulasi.

Tetanus

Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yang terdiri dari tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan.

Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan exotoxin yang diproduksi oleh Clostridium Tetani. Clostridium Tetani adalah basil batang anaerob, gram positif yang dapat membentuk spora pada salah satu ujungnya, sehingga bentuknya menyerupai pemukul genderang. Organisme ini sensitif terhadap panas dan tidak tahan terhadap oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora, organisme ini sangat tahan terhadap panas maupun antiseptik biasa. Spora bertahan hidup dalam autoclav pada suhu 121OC selama 10 – 15 menit. Spora juga tahan terhadap phenol serta bahan kimia lainnya. Basil tetanus ditemukan di tanah, dalam usus serta tinja kuda, domba, ternak, anjing, kucing, tikus, kelinci dan ayam. Tanah yang dipupuk mengandung banyak spora. Di daerah pertanian, banyak orang dewasa terinfeksi tetanus.

Spora ditemukan pada permukaan kulit. Spora tetanus yang masuk ke dalam luka dapat berkembang biak dalam suasana anaerobik dan membentuk toksin. Reservoarnya adalah usus manusia dan hewan serta tanah yang terkontaminasi kotoran manusia atau hewan. Pada neonatus penyakit ini dikenal dengan tetanus neonatorum yang diakibatkan oleh kuman yang masuk melalui luka pada tali pusat. Gej ala khas berupa kejang rangsang atau kejang spontan; muka tampak menyerigai (rhesus sardonicus), pada bayi mulut terkancing (trismus). Pada kasus yang ringan gej ala tersebut hilang setelah 2—3 minggu. Tanpa program imunisasi, attack rate sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. CFR bervariasi berkisar 30—90%, bergantung pada umur, masa inkubasi, dan pengobatan.

Tetanus disebabkan oleh suatu neurotoksin yang sangat poten, disebut tetanoplasmin yang dihasilkan pada saat tumbuhnya bakteri anaerob Clostridium tetani. Toksin tetanus akan bermigrasi ke susunan syaraf pusat dengan cara transport retrograd melalui syaraf. Toksin tetanus bersifat neurotropik dan akan berikatan dengan reseptor yang mengandung gangliosid pada terminal syaraf. Sekali berikatan dengan jaringan neuron, toksin tetanus tidak dapat dipengaruhi oleh antitoksin tetanus. Toksin ini akan berakumulasi pada susunan syaraf pusat dan menghadang release dari substansi neurotransmiter inhibitori, seperti glysin dan gamma-aminogluteric acid pada synaps neuron. Toksin tetanus sangat toksik. Penyakit ini ditandai oleh kaku seluruh tubuh dan serangan kejang dari otot lurik (otot skeletal). Kaku otot biasanya dimulai dari rahang (rahang terkunci/trismus), leher dan akhirnya seluruh tubuh.

Masa inkubasi rata-rata 8 hari (3-2 1 hari), pada umumnya semakin jauh lokasi luka dari susunan syaraf, semakin panjang masa inkubasinya, semakin pendek masa inkubasinya, semakin tinggi risiko kematiannya. Pada tetanus neonatorum, gej ala umumnya muncul antara 4-14 hari setelah lahir (rata-rata 7 hari). Berdasarkan gejala klinis, tetanus dibedakan atas : Tetanus lokal, Tetanus cephalica, Tetanus gereralisata, Tetanus Neonatorum.

Clostridium Tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka. Pada kondisi anaerob ( kadar oksigen rendah), spora menjelma menjadi bentuk aktif. Toksin, antara lain tetanospasmin diproduksi dan menyebar melalui darah dan cairan limfe. Toksin bekerja pada beberapa tempat, seperti susunan syaraf pusat, ujung motorik, medulla spinalis, otak serta system syaraf simpatik. Manifestasi klinis dari tetanus timbul bila vaksin tetanus mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, menghalangi efek inhibisi. Hal ini berakibat pada kontraksi otot terus menerus dan kejang.

Pertusis

Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bardetella pertusis dengan gejala batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk lebih sering pada malam hari. Akibat batuk yang berat dapat terjadi pedarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan penyakit ini sering disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan lab pada apusan lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).

Pada fase awal, infeksi pertusis ditandai dengan melekatnya Bordetella pertusis ke epitel bersilia saluran nafas. Gejala awal berupa pilek dan batuk. Mulai hari ke-10 batuk bertambah dan menjadi spasmodik. Komplikasi terbanyak adalah pneumonia yang banyak menimbulkan kematian dan ensefalopati yang meninggalkan kerusakan otak yang menetap. Kematian sering dijumpai pada anak berumur kurang dari satu tahun. Reservoarnya adalah manusia (penderita itu sendiri) dengan penularan melalui percikan ludah (droplet infection). Tanpa program imunisasi, attact rate mencapai 80 per 1.000 kelahiran hidup; yang tertinggi terdapat pada golongan balita. CFR sebesar 0,5% (Galazka, 1993). Toksin pertusis dapat diubah menjadi toksoid pertusis yang nontoksik, tetapi imunogenik (Galazka, 1993).

Tuberkulosis

Merupakan penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar melalui pernapasan lewat bersin atau batuk, gejala awal adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan dapat terjadi batuk darah.

Campak

Adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles, disebarkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita, gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah), selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh, tangan serta kaki.

Campak memiliki gejala klinis khas yaitu terdiri dari tiga stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus sebagai berikut :

  1.  Stadium masa tunas, berlangsung kira-kira 10-12 hari, suhu tubuh dapat meningkat sedikit 9-10 hari sejak mulai infeksi dan turun dalam 24 jam. Pasien dapat menularkan virus pada hari ke 9/10 setelah paparan sebelum penyakit dapat didiagnosis.
  2. Stadium prodromal, berlangsung 3-5 hari, ditandai dengan demam     ringan sampai sedang, gejala pilek, batuk yang meningkat, serta konjungtivis, kemudian ditemukan ruam kemerahan pada mukosa pipi (bercak koplik).
  3. Stadium akhir, dengan keluarnya ruam dari belakang telinga dan menyebar ke muka, badan, lengan, dan kaki. Ruam timbul didahului dengan suhu badan yang meningkat, kemudian normal kembali secara cepat. Selanjutnya ruam menghitam dan mengelupas.

Penularan campak sangat efektif dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi melalui percikan ludah yang keluar dari batuk, bersin, atau pilek. Pasien campak tanpa komplikasi/ penyulit dapat berobat jalan, tanpa perawatan dirumah sakit. Anak harus diberi cukup cairan dan kalori sedangkan pengobatan bersifat simptomatik dengan pemberian antipiretik untuk menurunkan demam, obat batuk/pilek, dan penenang jika diperlukan. Sedangkan campak dengan komplikasi perlu dirawat inap dirumah sakit. Vitamin A 100.000 IU per oral diberikan satu kali apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.

Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulan atau lebih. Program imunisasi campak secara luas baru dikembangkan pelaksanaannya pada tahun 1982.

Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pad aimunisasi ulang pada seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari virus yang dimatikan. KIPI imunisasi campak telah menurun dengan digunakannya vaksin campak yang dilemahkan. Gejala KIPI berupa demam diatas 39,5 derajat celcius yang dimulai pada hari ke-5 dan 6 setelah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.

Berbeda dengan infeksi alami, demam tidak tinggi, walaupun tetap dapat merangsang terjadinya kejang demam. Ruam dapat dijumpai pada 5% pasien, timbul pad hari ke 7 hingga 10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 4 hari. Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan sistem syaraf pusat seperti infeksi otak (ensefalitis), diperkirakan resiko terjadinya kedua efek samping tersebut 30 hari setelah imunisasi.

Poliomielitis

Adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio type 1, 2, atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP). Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani

Hepatitis B

Adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah lemah, gangguan perut dan gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati dan menimbulkan kematian.

Meningitis Meningokokus

Adalah penyakit akut radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis penyebab kematian dan kesakitan diseluruh dunia, CFR melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini, terapi modern dan suportif CFR menjadi 5 – 15%. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilkasis untuk orang-orang yang kontak dengan meningitis dan karier.

Demam Kuning (Yellow Fever)

Adalah penyakit infeksi virus akut dengan durasi pendek (inkubasi 3 sd 6 hari) dengan tingkat mortalitas yang bervariasi, disebabkan oleh virus demam kuning dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae, vektor perantara adalah Aedes aegypti. Icterus sedang ditemukan pada awal penyakit. Beberapa kasus berkembang menjadi stadium intoksikasi yang lebih berat ditandai dengan gejala hemoragik seperti epistaksis, perdarahan gingiva, hematemesis, melena, gagal ginjal dan hati, 20% – 50% kasus ikterik berakibat fatal.

Berbagai jenis penyakit diatas saat ini dapat dicegah dengan melakukan imunisasi DPT, DT dan TT. Tujuan jenis imunisasi ini diantaranya untuk memberi kekebalan dasar terhadap difteri, pertusis dan tetanus dan memberikan kekebalan sampai anak usia prasekolah. Mulai tahun 1984 imunisasi Difteri Tetanus Toxoid dan Tetanus Toxoid diberikan kepada anak SD/MI sebagai booster untuk mendapatkan perlindungan jangka panjang terhadap penyakit tetanus, termasuk tetanus neonatorom dan difteri. Menurut Wharton, dkk (2004), setelah mendapatkan tiga dosis toksoid difteri semua anak-anak rata-rata mendapat memberikan titer lebih besar dari 0,01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif adalah 0.01 IU)

Refference, antara lain : Kepmenkes RI tentang Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan KIPI. 2005; Galazka, A.M. 1993. Immunological basic for immunization. WHO,EPI, GENEWA; Atkinson,W. et al. 2000. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable Disease; Papaevangelou, G., 1995.  Evaluation of combined tetravalent diptheria, tetanus, whole-cell pertusis and hepatitis B candidate vaccine administered to healthy infants according to a three-dose vaccination schedule”.

Incoming Search Terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal