Kesehatan Lingkungan

Dampak Sanitasi Rumah dengan Penyakit Berbasis Lingkungan

Peranan Rumah Terhadap Penyakit Berbasis Lingkungan

Menurut Krieger dan Higgins (2002), sanitasi rumah yang kurang baik dikaitkan dengan tingginya berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit infeksi pernapasan, asma, keracunan timah, penyakit kronik dan perkembangan mental anak. Sedangkan menurut Ryadi (1984), environmental sanitation merupakan suatu usaha kesehatan yang membatasi terhadap semua usaha yang bertujuan untuk mengadakan pencegahan ataupun penolakan terhadap faktor-faktor hidup yang dapat menumbuhkan suatu penyakit secara epidemiologis.

Sarana sanitasi yang perlu diperhatikan sebagai standar rumah sehat diantaranya terkait dengan ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih

Menurut Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1989, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Oleh karena itu keberadan rumah yang sehat, aman, serasi dan teratur sangat diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik.

Menurut Sutomo (1997), pengaruh lingkungan hidup terhadap kesehatan manusia sangatlah kompleks. Peranan faktor lingkungan dalam menimbulkan penyakit dapat dibedakan menjadi empat, yaitu :

  • Sebagai predisposing faktor, artinya berperan dalam menunjang terjangkitnya penyakit.
  • Sebagai penyebab penyakit secara    langsung.
  • Sebagai media transmisi penyakit.
  • Sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit

Berdasarkan peran tersebut, maka diperlukan suatu usaha untuk mencapai kondisi optimal sanitasi lingkungan. Menurut Azwar (1979), sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap pelbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Jadi lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap pelbagai faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat dihindari.

Rumah sehat menurut Sanropie dkk. (1991), dikatakan sebagai tempat berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat, sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna, baik fisik, rohani maupun sosial.

Persyaratan Rumah Sehat
Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis

  1. Atap dan loteng: Atap berfungsi untuk melindungi isi ruangan rumah dari gangguan angin, hujan dan panas, juga melindungi isi rumah dari pencemaran udara (debu, asap dan lain-lain).  Atap dari alang-alang, jerami, daun-daun lainnya serta dari ijuk sebaiknya tidak digunakan lagi, karena atap dari bahan tersebut akan mudah terbakar, disamping disenangi serangga dan burung untuk berlindung atau bersarang. Atap dari genting adalah bahan yang paling baik karena bersifat sebagai isolator, sejuk di musim panas dan hangat di musim hujan. Loteng berfungsi sebagai penahan panas dan debu yang meresap/menembus atap-atap melalui celah-celah atap serta berfungsi sebagai penutup pemandangan yang tidak menyenangkan dari atap bagian dalam (Lubis, 1989; Sanropie dkk., 1991). Tidak ada ketentuan yang pasti tentang tinggi loteng dari lantai. Biasanya sudah cukup menyenangkan bila tingginya tidak kurang dari 21/4 meter (Lubis, 1989; Sanropie dkk., 1991).
  2. Dinding: Dinding berfungsi sebagai pendukung/penyangga atap dan melindungi ruangan rumah dari gangguan/serangan hujan dan angin, juga untuk melindungi dari pengaruh panas dan angin dari luar. Dinding dari bahan kayu dan bambu tahan terhadap segala cuaca (tidak mudah rusak/lapuk), namun dinding dari kayu atau bambu umumnya mudah terbakar (Lubis, 1989; Sanropie dkk., 1991). Dinding dari batu (pasangan batu/bata) adalah bahan dinding rumah yang paling baik karena bahan dari batu tahan terhadap api (Sanropie dkk., 1991).
  3. Lantai: Lantai dari tanah sebaiknya tidak dipergunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan/penyakit terhadap penghuninya. Oleh karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air (disemen, dipasang tegel, teraso dan lain-lain). Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan 20 cm dari permukaan tanah (Lubis, 1989; Sanropie dkk., 1991)
  4. Jendela: Jendela berfungsi sebagai lubang masuk-keluarnya angin/udara dari luar ke dalam dan sebaliknya, serta sebagai lubang masuknya cahaya dari luar. Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ke timur. Luas jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10- 20% dari luas lantai. Apabila luas jendela melebihi 20% dapat menimbulkan kesilauan dan panas, sebaliknya kalau terlalu kecil dapat menimbulkan suasana gelap dan pengap (Sanropie dkk., 1991). Kurangnya pencahayaan juga akan mempengaruhi kenyamanan dan produktifitas seseorang (Sanropie dkk., 1991; Lubis, 1989).
  5. Ventilasi: Ventilasi ialah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Udara yang dikeluarkan waktu ekspirasi dengan cepat akan berdifusi dengan udara di luar, sehingga perubahan komposisi udara atmosfer tidak akan dipengaruhi, dan yang kedua oleh karena tumbuh-tumbuhan mengambilnya pula (Lubis, 1989). Luas ventilasi secara keseluruhan minimal 20% atau 1/5 luas jendela. Sedangkan luas keseluruhan jendela biasanya 10-15% dari luas lantai rumah. Sebaiknya jarak lubang angin dari loteng tidak lebih dari 15 cm, sehingga udara panas di bagian atas kamar mudah bertukar dengan udara luar (Lubis, 1989). Menurut Sanropie dkk. (1991), temperatur udara dalam ruangan sebaiknya lebih rendah paling sedikit 40C dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 220C- 300C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, kelembaban udara berkisar 60% optimum. Untuk itu, diperlukan adanya ventilasi yang baik.
  6. Pencahayaan: Cahaya yang cukup untuk penerangan ruang di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia (Lubis, 1989., Sanropie dkk., 1991). Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya buatan dan cahaya alam (Sanropie dkk., 1991).  Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sinar ini sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar yang tinggi (Sanropie dkk., 1991). Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit tertentu seperti TBC, influenza, penyakit mata dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela (Sanropie dkk., 1991).
b. Memenuhi kebutuhan psikologis
  1. Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni.
  2. Tempat tinggal berada di sekitar tetangga yang memiliki status ekonomi yang relatif sama.
  3. WC dan kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan terpelihara kebersihannya (Sanropie dkk., 1991).
  4. Ketentuan-ketentuan tentang privasi yang cukup bagi setiap individu.
  5. Kebebasan dan kesempatan bagi setiap keluarga yang normal.
  6. Kebebasan dan kesempatan hidup bermasyarakat.
  7. Fasilitas-fasilitas yang memungkinkan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan tanpa penyebab kelelahan fisik dan mental.
  8. Fasilitas-fasilitas untuk meempertahankan kebersihan rumah dan lingkungan (Lubis, 1989).
c. Mencegah penularan penyakit

1.    Penyediaan air:

Air adalah salah satu diantara pembawa penyakit yang berasal dari tinja untuk sampai kepada manusia. Melalui penyediaan air bersih, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, maka penyebaran penyakit menular, dalam hal ini penyakit perut diharapkan dapat ditekan seminal mungkin (Sutrisno dan Eni, 1987). Bagi manusia kebutuhan akan air ini amat mutlak, karena sekitar 73% zat penyusun tubuh manusia adalah air. Jika tubuh tidak cukup dapat air atau kehilangan sekitar 5% berat badan, dapat membahayakan kehidupan orang tersebut (dehidrasi) (Azwar, 1979).

Sedangkan syarat-syarat air minum, antara lain meliputi  :

  1. Syarat fisik: Air yang sebaiknya digunakan untuk minum adalah air yang tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara (sejuk ± 250C) (Azwar 3, 1979).
  2. Syarat bakteriologis: Air minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri penyakit (patogen) sama sekali dan tidak boleh mengandung bakteri golongan coli melebihi batas-batas yang ditentukan (Sutrisno dan Eni, 1987).Bakteri E.coli digunakan sebagai parameter apakah air minum bebas bakteri atau tidak karena pada umumnya bibit penyakit ini ditemui pada kotoran manusia dan secara relatif lebih sukar dimatikan dengan pemansan air (Azwar 3, 1979)
  3. Syarat kimia:

Oleh karena itu, setiap rumah diharapkan memiliki sumber air sendiri, dengan ketentuan :

  1. Mempunyai sumur sendiri yang memenuhi kesehatan, tidak tercemar oleh air dari WC atau air limbah. Air yang diminum hendaknya air yang dimasak.
  2. Sistem perpipaan dijaga jangan sampai bocor sambungan atau pipanya, sehingga tidak terjadi cross connection (tersedotnya air dari luar pipa) dan tercemar oleh air dari tempat lain (Sanropie dkk., 1991).
2)    Pembuangan tinja
  • Tinja ialah segala benda atau zat yang dihasilkan oleh tubuh dan dipandang tidak berguna lagi sehingga perlu dikeluarkan untuk dibuang (Azwar 3, 1979). Tinja manusia selalu dipandang sebagai benda yang membahayakan bagi kesehatan, karena tinja merupakan sumber penularan penyakit perut. Di dalam kotoran manusia terdapat berbagai macam bibit penyakit perut, misalnya thypus abdominalis, kholera, dysentri dan amubawi serta berbagai macam cacing (Soemardji, 1989).
  • Untuk mencegah pen u laran dan penyebaran penyakit-penyakit tersebut, kotoran manusia harus dibuang menurut aturan-aturan tertentu (Soemardji, 1989). Usahakan tiap rumah memiliki jamban sendiri (di darat), selalu bersih dan tidak berbau (konstruksi leher angsa). Jaraknya cukup jauh dari sumber air dan letaknya di bagian hilir air tanah (Sanropie dkk., 1991).
3)    Pembuangan air limbah
Air limbah adalah air yang tidak dipakai (bekas pakai), meliputi semua kotoran yang berasal dari perumahan (dari kamar mandi, kamar cuci dan dapur), yang berasal dari industri-industri dan juga air hujan (Soemardji, 1989). Air dari dapur, kamar mandi dan tempat cuci sebaiknya dialirkan ke parit. Usahakan agar tetap mengalir atau menyerap dalam tanah. Bisa dibuang ke dalam sumur peresapan, jangan sampai menggenang dan membusuk (Sanropie dkk., 1991).

Pengolahan air limbah pada dasarnya bertujuan untuk :

  • Melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman terjangkitnya penyakit. Hal ini mudah dipahami karena air limbah sering dipakai sebagai tempat berkembangbiaknya pelbagai macam penyakit.
  • Menyediakan air bersih yang dapat dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari, terutama jika sulit ditemukan air yang bersih (Azwar 3, 1979).

4) Pembuangan sampah

Sampah (refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (Azwar 3, 1979; Sudarso, 1985), tetapi bukan yang biologis dan umumnya bersifat padat (Azwar 3, 1979). Secara umum, pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan akan mengakibatkan :

  • Tempat berkembang dan sarang serangga dan tikus.
  • Dapat menjadi sumber pengotoran tanah, sumber-sumber air permukaan tanah/ air limbah dalam tanah ataupun udara.
  • Dapat menjadi sumber dan tempat hadap dari kuman-kuman yang membahayakan kesehatan (Sudarso, 1985).
5) Bebas dari kehidupan tikus dan serangga
  • Dihindari adanya kehidupan serangga (lalat dan kecoa) karena dapat hinggap/mengotori makanan juga sebagai pembawa penyakit (penyakit perut).
  • Dihindari adanya kehidupan tikus karena selain dapat mengotori dan makan makanan manusia juga kutu/pinjal tikus dapat membawa penyakit pes (Sanropie dkk., 1991).

6) Bebas pencemaran makanan dan minuman (Sanropie dkk., 1991). d. Mencegah terjadinya kecelakaan

  1. Membuat konstuksi rumah yang kokoh untuk menghindari ambruk.
  2. Menghindari bahaya kebakaran.
  3. Mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan jatuh dan kecelakaan mekanis lainnya.
  4. Perlindungan terhadap electrical shock.
  5. Perlindungan terhadap bahaya keracunan oleh gas.
  6. Menghindari bahaya-bahaya lalu-lintas kendaraan

One thought on “Dampak Sanitasi Rumah dengan Penyakit Berbasis Lingkungan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal