Surveilans Leptospirosis
Surveilans dan Penularan Leptospirosis
Menurut beberapa penelitian, leptospira yang paling sering menginfeksi manusia adalah Icterohaemorragica dengan reservoir tikus, Canicola dengan reservoir anjing dan Pomona dengan reservoir sapi dan babi. Menurut Depkes RI (2008), pada tubuh hewan-hewan tersebut, Leptospira hidup di ginjal dan air kemih. Manusia terinfeksi bakteri leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang terluka atau membran mukosa. Dari beberapa serovar Leptospira yang telah diidentifikasi, hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap/fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup dalam air tawar selama kurang lebih 1 bulan.
Menurut Faine et al (2000), leptospirosis dalam tubulus ginjal binatang akan menetap sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui kontak langsung. Pada manusia penularan melalui kontak tidak langsung dengan maintenance host. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host dan incidental host. Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk studi epidemiologi leptospirosis pada setiap daerah.
Surveilans leptospirosis diperlukan sumber informasi epidemiologi tentang leptospirosis pada manusia dan hewan mengenai identifikasi kasus berdasarkan kriteria klinis yang dikonfirmasi dengan laboratorium, informasi data berdasarkan kasus yang dilaporkan, membandingkan informasi dari 2 sumber dan survei serologi untuk mengetahui prevalensi antibodi untuk mengetahui endemisitas dan parameter epidemik. Insiden dan prevalensi yang terjadi secara serentak pada hewan lokal dapat diduga merupakan sumber leptospirosis pada manusia (Depkes RI, 2008).
Surveilans leptospirosis bukan hanya dilakukan terhadap manusia tetapi juga dilakukan sebagai Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) atau early warning system untuk daerah-daerah endemis leptospirosis seperti daerah rawan banjir, pasang surut, pertambangan maupun persawahan. Surveilans pada manusia dapat dilakukan dengan dua cara. Cara aktif dilakukan dengan mencari penderita¬penderita/tersangka penderita dengan gej ala demam mendadak, nyeri otot terutama bagian betis atau persendian, mata merah, mual, muntah, diare, ikterus, terutama yang tinggal di daerah berisiko. Cara pasif dilakukan melalui unit pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia.
Penyakit leptospirosis dikenal juga dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever (shlamn fieber), swam fever autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter. Berdasarkan cara transmisinya, leptospirosis merupakan host to host transmission, karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyebab leptospirosis adalah bakteri dari genus Leptospira yang berbentuk spiral, bertekstur lentur dan merupakan bakteri gram negatif. Leptospirosis dilihat dari aspek penyebabnya adalah suatu bakterial zoonosis. Bakteri ini termasuk dalam Ordo Spirochaetales, Famili Trepanometaceae. Diameter bakteri sebesar 0,05 µm – 0,1 µm, panjang 1 µm -15 µm dan lebar 0,1 µm – 02 µm. Salah satu ujung organisme sering membengkak dan membentuk kait Bentuk yang demikian menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur, atau berbelok Leptospira memiliki flagela dan hidup dalam kondisi oksigen bebas. Flagela yang dimiliki oleh Leptospira ini bersifat periplasmik sehingga memungkinkannya menembus jaringan. Leptospira bersifat aerob dengan temperatur pertumbuhan optimum antara 280C – 300C dengan keasaman pH 7,2 – 7,6.
Leptospirosis disebut pula sebagai “Weil’s Disease”, sesuai penemu pertama bakteri ini yaitu Adolf Weil di Heidelberg tahun 1870. Penelitian leptospirosis Adolf Weil melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan gambaran klinis, demam pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan pada ginjal. Penyakit ini bisa berkembang di alam di antara hewan baik liar maupun domestik dan manusia merupakan infeksi terminal. Leptospirosis termasuk golongan anthropozoonoses, karena manusia merupakan “dead end” infeksi. Penyakit ini pada manusia beragam, mulai sub klinis, dengan gejala akut sampai yang mematikan. Gejala klinisnya sangat beragam dan nonspesifik. Gejala yang umum dijumpai antara lain demam, sakit kepala, mual-mual, nyeri otot, muntah. Kadang-kadang dijurnpai konjungtivitis, ikterus, anemia dan gagal ginjal. Sementara kelompok yang berisiko adalah petani atau pekerja di sawah, perkebunan tebu, tambang, rumah potong hewan, perawat hewan, dokter hewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan, lumpur dan hewan baik hewan peliharaan ataupun satwa liar.
Leptospira di dalam tubuh hewan seperti tikus, dapat bertahan selama hewan tersebut hidup tanpa menyebabkan sakit. Leplospira akan dikeluarkan melalui urin dan mencemari Iingkungan. Leptospirosis biasanya meningkat pada saat curah hujan yang tinggi. Leptospira tinggal di dalam ginjal dan diekskresikan melalui urin. Leptospirosis lebih banyak terjadi pada negara beriklim hangat dibandingkan dengan negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar luas di Iingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis. Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air.
Refference, antara lain : Depkes RI. 2008. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Penanggulangan kasus Leptopsirosis di IndonesiaFaine et all. 2000. Leptospira and leptospirosis. MediSciences; Kusmiyati, dkk. 2004. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia, Balai Penelitian Veteriner; WHO AND ILS. 2003. World Health Organization and International Leptospirosis Society; Zein. 2009. Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Levett. 2007. Leptospira in Manual of Clinical Microbiology,