Wolbachia, di Group Medsos
Nyamuk ber-Wolbachia, Migrasi dari Dapur Lab Microbiologi ke Habitat Endemik Aedes Aegypti
Oleh: Munif A
Pakde Arif akhirnya terusik juga untuk ikut berkomentar di group WA ‘sedulur selawase’ ini. Soal wolbachia. Setelah sekian lama.
Bakteri ini sontak viral dijagad maya manusia. Bukan di medsos mereka. Komunitas bakteri dan nyamuk.
Bisa jadi, tepatnya, setelah beberapa suspek japanese encephalitis dilaporkan diwilayah uji coba. Walau negatif pada akhirnya. Terlanjur viral.
Wolbachia sebagai bakteri alami yang diklaim terdapat pada (lebih kurang) 60% serangga ini dicoba disuntikkan pada telur nyamuk aedes aegypti.
Virus dengue penyebab DBD terbukti kehilangan nyali dalam tubuh nyamuk ber-wolbachia ini. Mereka tidak lagi mampu bereplikasi. Nyamuk aedes aegypti tidak lagi harus merasa terlalu terbebani saat menghisap darah kita. Toh hanya menjadikan gatal dan bentol.
Gigitan mereka tidak harus menjadikan situasi mencekam pada Febrile Phase, Critical Phase, Recovery Phase. Atau Dengue Shock Syndrome.
Setelah proses adaptasi sekian generasi, telur-telur aedes aegypti itu dilepas ke lingkungan. Juga persis sesuai siklusnya: menjadi jentik, pupa, dan nyamuk dewasa
Hikayat DBD
Hampir kita semua mengetahui. Biang kerok, tersangka utama penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah Nyamuk ini. Walau boleh jadi sebagian besar kita tidak persis dapat menyebut spesifik jenis nyamuknya.
Sebagaimana kita juga sering lupa pada peran nyamuk yang hanya sebatas delivery paket. Paket virus dengue.
Demikianlah alur ceritanya. Bahwa peran si aedes sebatas itu. Atau kita menyebutnya sebagai penyakit tular vektor.
Sebagian besar anggota group mafhum. Bahwa sudah berpuluh tahun jargon kampanye berantas sarang nyamuk dengan 3M, PSN, abatisasi digaungkan pemerintah. Di era presiden siapapun. Di era Koalisi manapun.
Sejak jaman TVRI hingga era tiktok kini.
Tentu penyakit ini sudah dikenal luas. Sudah berstatus endemik disini. Jauh hari sebelum covid-19 bermutasi menyandang status ini.
Sebagian wilayah menyatakan keberhasilan mengendalikan DBD dengan cara konvensional ini. Yang diklaim sebagian ahli sebagai metode ramah lingkungan ini.
Sebagian wilayah lain tidak terlalu optimal.
Yang pasti diketahui pakde, metode ini fluktuatif. Bahkan dikenal karakter siklus 5 tahunan. Setiap 5 tahun terjadi KLB DBD.
Yang tidak persis diketahui pakde, apakah seluruh aedes terkandung virus dengue dalam tubuhnya. Atau memang benar hanya yang betina? Ada apa dengan si jantan? Jika tidak, berapa proporsinya. Bagaimana beda perilakunya, usia harapan hidupnya, interval libidonya, kebutuhan harian darahnya. Dan lainnya.
Sebagai awam pakde hanya bergumam, wallahua’lam.
Belum tuntas anggota group merespon ‘krenteg uneg-uneg’ pakde, diskusi kembali gayeng soal nyamul ber-wolbachia.
Wolbachia
Kemudian diinstallah nyamuk ber-wolbachia. Sebagai alternatif masuk akal mengendalikan DBD. Dengan fokus menyerang langsung pada inti persoalan. Yaitu virus dengue yang bersemayam pada tubuh aedes aegypti.
Nyamuk boleh ada. Virus dengue jangan.
Nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia sukses ditangkar di laboratorium. Dilakukan oleh Tim peneliti World Mosquito Program (WMP) UGM Yogyakarta. Konon Wolbachia yang ditangkar dari induk semang drosophila melanogaster (lalat buah). Sejak pertama dilakukan Prof. Scott O’Neill di tahun 2008. Konon ribuan kali. Di Aussie sana. Disuntikkan dalam telur nyamuk Aedes aegypti. Selanjutnya sesuai siklus berurut menjadi jentik, pupa, dan nyamuk dewasa.
Telur kemudian diujicobakan di berbagai wilayah. Khususnya di Kabupaten dan kota disekitar kampus keren ini. Hasilnya segera kelihatan. Angka kejadian kasus DBD turun signifikan. Bahkan Konon siklus DBD 5 tahunan yang menakutkan itu terlewati tanpa status KLB.
Prestasi Wolbachia segera dikenal. Sampai kemudian program serupa direplikasi kemenkes di beberapa wilayah terpilih. Sampai kemudian, anda sudah tahu, dilaporkan suspek Japanese Encephalitis di wilayah habitat aedes aegypti ber-wolbachia di Kulon Progo (dikemudan hari uji aboratorium menunjukkan hasil negatif pada seluruh suspek).
Kedua sekuen kejadian itu menjadikan wolbachia viral lagi.
Pendapat terbelah segera terpantau di group WA sedulur selawase. Group teman SMA pakde ini dikenal satset watwet. Antara yang setuju wolbachia, menentang, atau abstain.
Tentu seluruh pendapat di group disclaimer pada: minimalis referensi dan gemuk tendensi.
Bagi pakde, seluruh tulisan tentang wolbachia di group sangat tidak sebanding dengan barisan peneliti wolbachia di UGM yang telah hampir 12 tahun memelototi nyamuk dan bakteri ini. Baik di laboratorium, rumah sakit, teras rumah penduduk, di ladang. Bahkan di seberang lautan sana.
Anggota group bukan para peneliti. Pun bukan para relawan kader kesehatan yang rutin mengganti ember wadah telur nyamuk di pelosok Jogja.
Pakde sebagai sesepuh dan admin group sebatas responsif pada pendapat anggota. Baik yang membabibuta mempertanyakan, maupun yang tajam mendukung.
Misalnya soal perilaku nyamuk ber-wolbachia ini. Dijelaskan tidak berbeda dengan nyamuk sejenis lainnya. Jarak dan kebiasaan terbangnya, pola dan tempat bertelurnya, waktu dan kesenangan menghisap darahnya.
Toh pakde sepakat sebagai awam. Bahwa hal penting sejauh soal perilaku ini hanya sebatas soal kapan mereka kawin, bagaimana mereka bertelur, dimana mereka bersarang. Jam berapa biasa menggigit,
Mau bagaimana nyamuk bermanuver liar bagi pakde masih abstrak. Sebagaimana juga abstrak bagi pakde, bagaimana menjelaskan kemungkinan selingkuh culex dengan aedes bisa terjadi. Hingga gosip yang merebak liar soal Japanese Encephalitis dicurigai terkait nyamuk ber-wolbachia ini.
Kekhawatiran sebagaian anggota group pada dampak jangka panjang nyamuk ber-wolbachia ini, menurut pakde harus dibangun diatas evidance base hasil kajian.
Akan fair, misalnya, ada anggota group yang sudah 12 tahun meneliti nyamuk ber-wolbachia berdiskusi serius, dengan anggota serupa yang 12 tahun juga telah menentangnya.
Jika ini terjadi, mereka tentu sudah sama-sama punya cukup basis data. Karena bagi pakde soal ini bukan wilayah opini.
Jam sudah beranjak malam. Kantuk segera datang. Pakde segera menjauhkan hp dari bantal. Redup terbaca ayat kursi.
Namun kantuk tak kunjung datang. Dan diskusi di group WA sedulur selawase masih berlanjut soal nyamuk. Satu per satu perusuh group undur diri.
Malam kian larut. Gelap kian beranak pinak.
Bersambung ….