Jamban adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja/kotoran manusia yang sering disebut WC (Depkes RI, 2002). Sementara menurut Soemardji (1985), pembuangan kotoran adalah pengumpulan kotoran manusia pada suatu tempat tertentu dengan maksud agar kotoran tersebut tersimpan sedemikian rupa, sehingga tidak memungkinkan kuman-kuman atau bibit penyakit yang ada pada kotoran manusia sampai kepada orang lain serta mengganggu estetika.
Secara nasional terdapat 16,4% rumah tangga masih melakukan pembuangan tinja di sungai/danau, dan (11,7%) di lubang tanah (Riskesdas 2010). Diperkirakan akibat limbah yang tidak dikelola secara baik, menghasilkan lebih dari 6 juta ton kotoran manusia per tahun yang dibuang ke badan air. Kondisi ini menyumbang dampak polusi serius pada sumber air bersih, dan menyebabkan komoditas-air bersih menjadi produk yang semakin berharga. (WSP, 2007).
Fungsi jamban dari aspek kesehatan lingkungan antara lain dapat mencegah berkembangnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia. Sementara dampak serius membuang kotoran di sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara karena menimbulkan bau. Pembuangan tinja yang tidak dikelola dengan baik berdampak mengkawatirkan terutama pada kesehatan dan kualitas air untuk rumah tangga maupun keperluan komersial.
Menurut Wibowo et, al. (2004) terdapat hubungan antara tempat pembuangan kotoran dengan kejadian diare, tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan memperpendek rantai penularan penyakit diare, sehingga tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadi diare berdarah pada anak balita 2,55 kali lipat bila dibandingkan dengan keluarga yang membuang tinja yang memenuhi syarat kesehatan.
Selanjutnya keluarga yang tidak memiliki sendiri fasilitas pembuangan tinja akan meningkatkan risiko kejadian diare berdarah pada anak balita sebesar 2,51 kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai fasilitas pembuangan tinja milik sendiri. Jarak sumber air minum dengan tempat pembuangan tinja kurang dari 10 meter akan meningkatkan terjadinya diare berdarah pada balita sebesar 3 kali lipat dibandingkan dengan jarak sumber air minum ketempat pembuangan tinja 10 meter.
Beberapa ciri pemanfaatan jamban yang baik menyatakan ciri-ciri jamban atau kakus yang digunakan dengan baik antara lain (Wise et,al. 2003) :
Menurut Soemardji (1985), untuk mencegah penularan dan penyebaran penyakit perut, kotoran manusia harus dibuang menurut aturan-aturan tertentu. Beberapa syarat pembuangan kotoran manusia antara lain :
Sedangkan syarat jamban menurut Ehler & Steel (cit, Djabu et, al, 1991) antara lain sebagai berikut :
Menurut Umar (1985), pola pembangunan jamban keluarga yang baik dan tepat untuk suatu masyarakat baik di daerah perkotaan maupun pedesaan merupakan masalah rumit. Hal ini disebabkan oleh masalah pemilihan tersebut perlu mempertimbangan beberapa faktor yang satu dengan yang lainnya saling terkait, antara iklim dan geologi, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, tersedianya tenaga terampil setempat, adanya bahan-bahan baku didaerah untuk bangunan dan sebagainya. Berdasarkan hal ini, menurut Depkes (2005a), pola pembangunan jamban keluarga yang baik dan tepat serta memenuhi syarat kesehatan adalah apabila: (a) Tidak mengakibatkan terjadinya penyebaran langsung bahan-bahan yang berbahaya bagi manusia, (b) Dapat mencegah vektor pembawa untuk menyebarkan penyakit pada pemakai dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa pilihan teknis bangunan jamban yang saniter untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang bisa dilaksanakan sebagai pola pembangunan jamban yang efektif dan efisien. Beberapa pilihan tersebut antara lain sebagai berikut:
Selain pembagian jamban berdasarkan katagori jamban sehat dan jamban tidak sehat, terdapat berbagai jenis jamban keluarga. Menurut Azwar (1990), terdapat beberapa jenis jamban, antara lain :
Sementara menurut Kusnoputranto (1997), terkait dengan pengolahan ekskreta manusia dan aspek kesehatan masyarakat, terdapat dua sistem pengolahan yang digunakan, yaitu: a). Sistem kering (night soil) seperti Pit Latrine, composting toilets, cartage systems, composting; b). Sistem basah (sewage), seperti aquaprivy dan septick tank.
Refference, antara lain :
Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta Manusia, Aspek Kesehatan masyarakat dan Pengelolaannya. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta; Djabu, U. dkk. 1991. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah. Pusdiknakes Depkes RI. 2005. Modul Panduan Praktek CLTS di Lapangan; Soemardji, J. 1985. Pembuangan Kotoran dan Air Limbah. Pusdiknakes Depkes RI; Umar, M.A. 1985. Tinja dan Kesehatan. Artikel Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia; Wise, P. dkk. 2003. Panduan Kesehatan Masyarakat untuk Kader Kesehatan.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk Astrazeneca…
Pengertian dan Bahaya Anemia Zat Besi Bagi Balita Anemia merupakan keadaan dimana terjadi penurunan kadar…
Penatalaksanaan medis, kontak erat, dan pencegahan infeksi dalam pengobatan kasus difteri. Manajemen medis Doktermemutuskan apakah…
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa Beberapa…
Kecoak dan Peranannya dalam Penyebaran Penyakit dan Masalah Kesehatan Kecoak adalah hewan nocturnal (hewan yang…
Update Marketing Sanitasi Sementara Marketing Sanitasi di Kab. Lumajang saat ini sudah melahirkan beberapa boss…