Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri
Gambaran klinis, Etiologi, Masa inkubasi, Sumber dan cara penularan, Pengobatan, Epidemiologi, KLB dan Penanggulangan Difteri
Penyakit Difteri adalah penyakit menular akut pada tonsil, faring dan hidung kadang-kadang pada selaput mukosa dan kulit. Difteri dapat menyerang orang yang tidak mempunyai kekebalan.
Gambaran klinis
Difteri mempunyai gejala klinis demam + 38 oC, pseudomembran putih keabu-abuan, tak mudah lepas dan mudah berdarahdi faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak nafas disertai bunyi (stridor)
Kasus Difteri dapat diklasifikasikan dalam kasus probable dan kasus konfirmasi:
- Kasus probable adalah kasus yang menunjukkan gejala-gejala demam, sakit menelan, pseudomembran, pembengkakan leher dan sesak nafas disertai bunyi (stridor)
- Kasus konfirmasi adalah kasus probable disertai hasil laboratorium, berupa hapus tenggorok & hapus hidung atau hapus luka di kulit yang diduga Difteri kulit.
Etiologi
Kuman penyebab adalah Corynebacterium Diphtheriae. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasif, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu eksotoksin. Toksin ini mempunyai efek patologik sehingga menyebabkan orang jadi sakit. Ada 3 tipe dari Corynebacterium Diphtheriae yaitu tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis. Kuman ini dapat hidup pada selaput mukosa tenggorokan manusia tanpa menimbulkan gejala penyakit. Keadaan ini disebut carrier. Pada masa non epidemi ditemukan carrier rate sebesar 0,5% – 1,2% dari penduduk dan kumannya adalah tipe mitis, sedangkan pada masa epidemi carrier rate bisa meningkat menjadi 25% – 40% dan kumannya adalah tipe gravis.
Strain yang mulanya nontoxigenic bisa menjadi toxigenic, jika strain tersebut terinfeksi virus yang spesifik atau bakteriofag, sehingga strain tadi mengeluarkan toksin ampuh dalam jumlah besar yang menyebabkan sakit dan kematian pada penduduk yang tidak mendapat vaksinasi.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada anak-anak golongan umur 1 – 5 tahun. Sebelum umur 1 tahun, anak-anak masih mendapat perlindungan pasif dari ibunya. Waktu anak umur 1 tahun, antibodi tersebut sudah habis. Maka penyakit Difteri mulai dapat menyerang mereka yang belum pernah sakit atau yang sebelumnya sudah kontak dengan strain Difteri jinak, tetapi tidak mempunyai respons immunotoxigenic yang cukup kuat. Karena penduduk yang tidak rentan (non susceptible) semakin besar dengan bertambahnya umur, maka sesudah umur 5 tahun, age specific attack rate makin menjadi kecil.
Masa inkubasi
Masa inkubasi antara 2 – 5 hari. Masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carrier bisa sampai 6 bulan
Sumber dan cara penularan
Sumber penularan adalah manusia baik sebagai penderita maupun carrier. Seseorang dapat menyebarkan bakteri melalui pernafasan droplet infection atau melalui muntahan, pada difteri kulit bisa melalui luka di tangan.
Kriteria kasus dan kontak
- Kontak kasus : Adalah orang serumah, tetangga, teman bermain, teman sekolah, termasuk guru, teman kerja.
- Carrier : Adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium positif C. Diphteriae.
Pengobatan
Pemberian Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan, bila sedang diberikan ADS 60.000 unit dan jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 100.000-120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan tes sensitifitas. Antibiotik pilihan adalah Penicillin Procain 50.000 unit/kgBB/hari, diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif adalah erythromicyn 50mg/kgBB/hari selama 14 hari.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya, dua pertiga dari yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas.
Di Indonesia, pada tahun 1997-2002 terjadi KLB difteri di Jambi, Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada tahun 2011 dilaporkan beberapa kasus di provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Sampai minggu ke 39 tahun 2011 telah ditemukan 321 kasus positif difteri (11 kematian) di 34 Kabupaten/ Kota Jawa Timur sedangkan Kalimantan Timur telah dilaporkan 45 kasus pada tahun 2011.
KLB dan Penanggulangannya
Penanggulangan KLB Difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber penularan.
Penyelidikan Epidemiologi KLB
Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap setiap adanya 1 kasus difteri, baik dari rumah sakit , puskesmas maupun masyarakat, yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, memastikan terjadi KLB dan menentukan kasus tambahan serta kelompok rentan.
- Pelacakan kasus : Pelacakan kasus ke lapangan sangat penting karena kemungkinan akan didapatkan kasus tambahan. Setiap kasus difteri dilakukan pelacakan dan dicatat dalam formulir penyelidikan KLB difteri Pelacakan ke lapangan sebaiknya segera setelah mendapatkan informasi dari rumah sakit atau sumber lainnya.
- Identifikasi kontak: Pada Kontak serumah, dilakukan dengan didatangi dengan menggunakan form pelacakan difteri, seluruh anggota keluarga diperiksa dan diambil apusan tenggorokan atau apusan hidung. Bagi yang menunjukkan gejala klinis difteri segera dirujuk ke rumah sakit. Sedangkan pada Kontak sekolah/ tetangga, dilakukan dengan mengunjungi teman sekolah dan teman bermain atau tetangga terdekat indek kasus terutama pada kontak yang ditemukan tanda-tanda faringitis atau pilek-pilek dengan ingus kemerahan, maka segera dilakukan pemeriksaan spesimen/swab tenggorokan. Guru sekolah dapat dimintakan bantuan melaku kan pengamatan terhadap anak sekolah yang menunjukkan gejala agar segera melaporkan ke petugas kesehatan
Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber penularan. Imunisasi diberikan untuk memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat rentan.
Adanya satu kasus difteri mengharuskan upaya pencarian kasus lain pada kelompok rentan yang dicurigai, terutama kontak serumah, tetangga, teman sepermainan, teman sekolah atau tempat bekerja, serta upaya pencarian sumber penularan awal atau tempat kemungkinan adanya carrier. Disamping identifikasi kasus baru lainnya, identifikasi cakupan imunisasi pada bayi dan anak sekolah selama 5-10 tahun terakhir perlu dilakukan dengan cermat.
Tatalaksana kasus
- Kasus probable dirujuk ke Rumah Sakit, rawat dalam ruang terpisah dengan penderita lain. Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 Unit intra muskuler diberikan jika membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja, jika sedang diberikan ADS 60.000 unit, sedangkan jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 1000.000 – 120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan tes sensitivitas.
- Antibiotik pilihan adalah penicillin 50.000 unit/kg BB/hari, diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif adalah erythomicyn 50 mg/kg BB/hari selama 14 hari.
- Tracheostomi dapat dilakukan dengan indikasi dyspnea, stridor, epigastric dan suprastenal reaction pada pernafasan.
Tatalaksana kontak
Kontak probable dan konfirmasi mendapat pengobatan profilaksis dengan erythromycin 50 mg/kg BB selama 7-10 hari.
Kegiatan Imunisasi
Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun-dusun sekitarnya yang memiliki cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari 80%, dengan ketentuan :
- Anak kurang dari atau sama dengan 3 tahun mendapatkan imunisasi DPT_HB sebanyak 2 dosis dengan selang waktu 1 bulan tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.
- Anak usia 3-7 tahun tahun mendapatkan imunisasi DT
- Anak usia lebih dari 7 tahun mendapatkan imunisasi Td
Sistem Kewaspadaan Dini KLB
Difteri adalah penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dan potensial menyebabkan KLB. Kasus difteri yang dilaporkan akhir-akhir ini cenderung meningkat, oleh sebab itu perlu dilakukan penguatan pelaksanaan surveilans Difteri yang terintegrasi dengan surveilans AFP melalui surveilans aktif di rumah sakit sebagai upaya SKD KLB.
Di Puskesmas :
- Penemuan kasus : Setiap kasus difteri yang ditemukan di wilayah puskesmas, dicatat dalam formulir penyelidikan KLB difteri dan dilakukan pencarian kasus tambahan serta identifikasi kontak. Dalam upaya penemuan / pelacakan kasus baru pada waktu investigasi KLB dapat dikembangkan pencarian kasus di masyarakat dengan gejala tonsilitis dan atau faringitis.
- Pencatatan dan Pelaporan: Petugas surveilans harus memastikan bahwa setiap kasus difteri yang ditemukan, baik yang berasal dari dalam maupun luar wilayah kerja, dicatat dan dilaporkan sebagai KLB. Kasus tersebut juga dilaporkan pada laporan rutin STP ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Setiap minggu direkap dalam W2/PWS KLB dan dilaporkan Ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.
- Semua laporan rutin maupun laporan KLB didokumentasikan
- Analisa data :
– Setiap akhir bulan dilakukan tabulasi kasus difteri menurut bulan, desa, kelompok umur dan
– status imunisasi Membuat grafik trend kasus difteri setiap bulan dan tahunan
– Membuat grafik kasus difteri berdasarkan status imunisasi dan golongan umur
– Membuat spot map kasus difteri berdasarkan desa
– Mengidentifikasi daerah-daerah yang masih perlu mendapat perhatian ( daerah sulit, konflik dan lain-lain)
– Mapping populasi rentan difteri selama 5 tahun terakhir menurut desa. - Diseminasi Informasi : Mendiskusikan hasil kajian data tersebut dengan pimpinan puskesmas dan program terkait pada pertemuan berkala puskesmas.
Di rumah Sakit (Surveilans Aktif)
- Penemuan kasus: Penemuan kasus dapat dilakukan oleh kontak person rumah sakit atau saat kunjungan aktif oleh petugas kabupaten.
- Pencatatan dan Pelaporan: Setiap kasus difteri dilaporkan dengan formulir KDRS ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Apabila ditemukan pada saat petugas kabupaten melakukan surveilans aktif RS, kasus dicatat dalam formulir FPPD. Data tersebut direkap dalam formulir STP RS dan dilaporkan setiap bulan ke Dinas kesehatan Kabupaten/kota
Di Kabupaten :
- Penemuan kasus: Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara aktif kasus difteri (diintegrasikan Surveilans AFP). Tata cara pelaksanaan surveilans aktif RS lebih rinci lihat buku pedoman surveilans AFP tahun 2007. Setiap kasus difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera diinformasikan ke puskesmas lokasi kasus untuk pencarian kasus tambahan dan identifikasi kontak.
- Pencatatan dan pelaporan: Laporan Integrasi, dengan melakukan rekapitulasi data difteri yang bersumber dari laporan KLB ke dalam formulir integrasi. – Kirim laporan integrasi ke provinsi setiap bulan sebagai lampiran laporan STP.
Sumber: Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
Terima kasih info bagusnya. Kebetulan mendekati kegiatan PIN Polio 2016, dapat dijadikan suport petugas lapangan. Sekaligus juga untuk penyebar luasan informasi ke masyarakat tentang PD3I.