Diagnosa dan Reaksi Penyakit Kusta
Diagnosa dan Pengobatan Penyakit Kusta
Reaksi kusta merupakan reaksi yang terjadi secara mendadak menjadi parah (exaserbasi acut). Reaksi ini dapat berlangsung baik sebelum, selama, maupun setelah masa pengobatan. Terdapat beberapa hal yang dapat mempermudah terjadinya reaksi kusta, seperti kondisi penderita yang lemah, kehamilan, sesudah mendapat imunisasi, malaria, dan stress.
Terdapat dua macam reaksi, yaitu reaksi tipe satu (reversibel) dan tipe dua Erythema Nodusum Leprosum (ENL). Reaksi pertama terjadi akibat meningkatnya daya tahan tubuh secara mendadak yang menyebabkan bercak di kulit tiba-tiba menjadi merah, bengkak, dan nyeri. Selain bercak di kulit saraf yang terserang juga menjadi bengkak, keras, dan nyeri. Peradangan saraf (neuritis) akan menyebabkan fungsi saraf terganggu, otot-otot yang disarafi oleh saraf yang terserang tiba-tiba menjadi lemah atau bahkan lumpuh.
Reaksi kusta tipe dua terjadi akibat adanya reaksi humoral dimana kuman kusta yang utuh dan tidak utuh membentuk antigen. Reaksi kusta tipe dua menimbulkan benjolan merah dan nyeri di kulit, benjolan ini dikenal sebagai eritema nodosum leprosum. Pembengkakan dan nyeri saraf, nyeri dan kemerahan mata, nyeri dan pembengkakan pada hidung, nyeri dan pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri dan pembengkakan pada sendi dapat terjadi akibat reaksi kusta tipe dua. Reaksi kusta tipe dua dapat terjadi secara berulang-ulang, serangan baru bisa saja terjadi sebelum serangan terdahulu berakhir.
Sebagaimana kita ketahui, untuk menentukan bahwa seseorang itu menderita penyakit kusta dengan menemukan cardinal sign atau tanda-tanda pokok pada badan. Beberapa cardinal sign tersebut antara lain :
- Terdapat bercak kulit yang mati rasa (anaesthetic pach) yaitu bercak yang berupa hipopigmentasi atau erithematous mendatar (makula) atau meninggi (plaque). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu (panas atau dingin) dan rasa nyeri
- Peradangan syaraf tepi yang ditandai dengan penebalan syaraf dan dapat disertai dengan nyeri. Neuritis ini dapat disertai atau tanpa disertai dengan gangguan fungsi syaraf yaitu: gangguan fungsi sensorik (mati rasa), gangguan fungsi motorik (perese atau paralise), gangguan fungsi otonom (elastis kulit berkurang, kulit kering, retak dan terlihat tua). Neuritis kusta merupakan peradangan segmental batang syaraf (nerve trunk) disertai dengan gangguan fungsi. Biasanya syaraf menebal, sakit dan nyeri sentuh. Nodul, infiltrat pada bagian hidung, mulut, testis, visus menurun, konjungtivitis, hidung pelana, ginekomasti sering juga dijumpai pada penderita kusta.
- Bakteri tahan asam (BTA) positif.
Untuk mendiagnosa penyakit kusta pada seseorang, sedikitnya harus ditemukan satu dari cardinal sign. Bila tidak atau belum dapat ditemukan salah satu dari tanda-tanda tersebut dan dicurigai menderita penyakit kusta maka seseorang tersebut dikatakan sebagai tersangka (suspect) kusta dan perlu diamati kemudian diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai kusta dapat ditegakkan atau dibatalkan
Pengobatan kusta
Lama pengobatan kusta ditentukan berdasarkan tipe kusta yang diderita. Pengobatan kusta tipe MB sekurang-kurangnya selama dua tahun dan pengobatan kusta tipe PB selama enam bulan. Sementara terdapat tiga macam jenis obat yang diberikan yaitu rifampicin, lamprene, dan DDS. Ketiga obat tersebut memberikan efek samping yang tidak menyenangkan pada penderitanya. Seperti efek samping rifampicin antara lain pada urin, tinja dan keringat menjadi penderita berwarna merah. Pada lamprene beberapa efek samping antara lain menyebabkan warna kulit menjadi hitam. Sedangkan pada DDS menimbulkan rasa gatal, merah pada kulit dan pada kondisi lebih berat bisa menyebabkan terkelupasnya kulit kepala dan seluruh tubuh.
Tingkat kecacatan penyakit kusta
Pada dasarnya mycobacterium leprae menyerang saraf tepi manusia. Berdasarkan hal ini maka tingkat kecacatan penyakit kusta tergantung dari kerusakan syaraf tepi (sensorik, motorik dan otonom). Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya reaksi kusta. Kelainan fungsi saraf sensorik menyebabkan terjadinya mati rasa. Akibat mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda asing yang dapat menimbulkan infeksi mata dan juga kebutaan.
Kerusakan saraf motorik menyebabkan kekuatan otot tangan dan kaki menjadi lemah. Bahkan semakin lama dapat terjadi atrofi atau otot yang mengecil karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok (claw hand/claw toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur). Kelumpuhan pada otot kelopak mata mengakibatkan kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). Kerusakan pada saraf otonom menyebabkan gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak, dan gangguan sirkulasi darah kulit sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya pecah-pecah.
Bentuk kecacatan lain yang dapat diamati pada penderita kusta yaitu megalobule/cuping telinga membesar, saddle nose/hidung pelana, sagging face/kulit wajah berkeriput. Tingkat kecacatan dapat dibagi menjadi tiga yaitu tingkat kecacatan nol, satu, dan dua. Tingkat kecacatan nol jika pada bagian mata tidak ada kelainan akibat kusta, pada telapak tangan tidak ada anastesi, tidak ada cacat yang terlihat akibat kusta. Tingkat kecacatan satu jika ada kelainan pada mata akibat kusta tetapi tidak kelihatan dan visus sedikit berkurang akibat kusta, ada anastesi pada telapak tangan tetapi tidak ada kerusakan/cacat yang kelihatan, dapat diketahui bila dites. Tingkat kecacatan dua bila ditemukan ada lagophthalmos (mata tidak dapat menutup sempurna), visus sangat terganggu akibat kusta, ada cacat/kerusakan yang terlihat seperti ulkus, jari-jari kiting, pemendekan (mutilasi) dan kaki simper.
(Sumber : Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Depkes RI. 1995. Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas. Depkes RI. 2005)