Public Health

Epidemiolodi Filariasis

Hospes dan Vektor Utama Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)

Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah merupakan penyakit infeksi yang bersifat menahun disebabkan cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk. penyakit ini dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, kantung buah zakar, payudara dan kelamin wanita. Gejala dan Tanda Filariasis, antara lain, pada tahap Awal (akut) berupa demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-5 hari terutama bila bekerja berat. Demam dapat sembuh sendiri tanpa diobati.Juga timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipatan paha atau ketiak tanpa adanya luka badan.Kemudian ketika teraba adanya urat seperti tali yang berwarna merah dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan ke arah ujung kaki atau tangan. Sedangkan pada tahap Lanjut (kronis), akan terjadi pembesaran yang hilang timbul pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita dan lama kelamaan menjadi cacat menetap.

Aspek Epidemiologi Penyakit kaki gajah
Aspek Epidemiologi Penyakit kaki gajah

Menurut Widoyono (2008), penyakit kaki gajah (Filariasis) terdapat hampir di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan beberapa daerah sub tropis. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia. Sedangkan di Asia filariasis menjadi penyakit endemik di Indonesia, Myanmar, India dan Srilanka.

Di Indonesia berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8000 orang penderita klinis kronis filariasis yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang beresiko tinggi tertular filariasis, dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi. Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Penyakit menular ini bersifat menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Epidemiologi Filariasis
Menurut Supali, dkk (2008), filariasis malayi merupakan salah satu penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Penyakit ini memiliki hospes reservoar dan vektor nyamuk. Secara epidemiologi, persebaran filariasis terkait dengan berbagai faktor seperti hospes definitive, yaitu manusia, hospes reservoar, vektor dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing.

Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda jaringan. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik. Penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi.

Filariasis disebabkan oleh tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Morfologi Cacing dewasa jantan W. bancrofti berukuran 2-4 cm dan betina 5-10 cm. Mikrofilaria berukuran panjang antara 245-300 µm, bersarung pucat, lekuk badan halus, panjang ruangan kepala sama dengan lebarnya, inti halus dan teratur. Tidak ada inti tambahan. Larva stadium 1 (L1) bentuk seperti sosis, ekor lancip, panjang 127 µm. Larva stadium 2 (L2) bentuk lebih panjang dari L1 , ekor pendek seperti kerucut, panjang 450 µm. Larva stadium 3 (L3) bentuk langsing panjang, panjang 1200 µm, pada ekor terdapat 3 papila bulat

Cacing dewasa jantan brugia malayi berukuran panjang 23 mm, ekor melingkar. Cacing betina berukuran panjang 55 mm, ekor lurus. Mikrofilaria brugia malayi panjangnya 200-275 µm, bersarung merah pada pewarnaan giemsa, lekuk badan kaku, panjang ruang kepalanya dua kali lebarnya, badannya mempunyai inti-inti tidak teratur, ekornya mempunyai satu-dua inti tambahan. Memiliki L1, L2, dan L3 seperti Wuchereria bancrofti namun bila dijumpai dapat dibedakan dari L3 Wuchereria bancrofti dari keberadaan tonjolan di bagian posterior tubuhnya.

Cacing dewasa brugia timori berbentuk halus seperti benang, warna putih susu, yang betina berukuran 40 mm ekor lurus, dan cacing jantan berukuran 23 mm (lebih kecil dari yang betina) ekornya melengkung kearah ventral. Mikrofilaria berukuran 3 1 0 µm, ruang kepala memiliki rasio panjang-lebar sekitar 2: 1 pada brugia malayi tetapi pada brugia timori 3: 1, bersarung pucat, lekuk badan kaku, panjang ruang kepalanya tiga kali lebarnya, badan mempunyai inti-inti tidak teratur, ekor mempunyai dua inti tambahan.

Daur hidup parasit brugia malayi ini cukup panjang, masa pertumbuhannya di dalam tubuh nyamuk kurang lebih 3 bulan. Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang dalam otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek disebut L1, kemudian berganti kulit tumbuh lebih gemuk dan panjang disebut L2, selanjutnya jadi L3 yang lebih kurus dan makin panjang, L3 ini kemudian bermigrasi mula-mula ke abdomen, kemudian ke kep ala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung L3 (bentuk infekti) menggigit manusia maka secara aktif larva tersebut masuk melalui luka dan masuk ke tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes larva mengalami pergantian kulit dan menjadi cacing dewasa

Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa dan pada umumnya ada tendensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis perlu diperhatikan faktor-faktor seperti hospes definitif (manusia), hospes reservoar, vektor dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing

Hospes Reservoar dan vektor Filariasis

Beberapa hewan dapat berperan sebagai hospes reservoar atau sumber penularan  penyakit ini. Dari semua spesies cacing filarial yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya brugia malayi tipe sub periodik nokturna yang ditemukan di hewan. Kera (Macaca sp.) dan lutung (Presbytis sp.) merupakan reservoar dari strain tertentu brugmalayi, yang juga dapat menular ke kucing (John & Petri, 2006). Pengendalian filariasis pada hewan reservoar ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia.

Brugia malayi kebanyakan di daerah tertentu vektor utamanya nyamuk genus Mansonia dan Anopheles. brugia timori vektornya adalah nyamuk Anopheles barbirotris dan sejauh diketahui, manusia adalah satu-satunya hospes definitif. Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirotris dan yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh nyamuk Mansonia.

Beberapa sifat vektor nyamuk adalah menyukai darah manusia (antropofilik), menyukai darah hewan (zoofilik), menyukai darah hewan dan manusia (zooantropofilik), menggigit di luar rumah (eksofagik) dan menggigit di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk sebagai vektor penyakit kaki gajah menentukan distribusi penyakit kaki gajah.

Sedangkan secara intrinsik, stadium mikrofilaria ditemukan di dalam darah tepi terutama pada malam hari dan mencapai puncaknya pada pukul 22.00 – 01.00 (sifat periodisitas mikrofilaria yang bersifat nocturnal). Sedangkan mikrofilaria yang mempunyai sifat subperiodik nokturnal, berada dalam darah tepi selama 24 jam tetapi mencapai puncaknya pada pukul 18.00 – 22.00. Pada mikrofilaria yang sifatnya nonperiodik, stadium mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah tepi setiap saat dan tidak pernah mencapai puncak.

Refference, antara lain :

  • Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia dan Kunci Identifikasi Nyamuk Mansonia Ditjen PP & PL Depkes RI.
  • Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga.
  • Sasa, M. 1976. Human Filariasis. A Global Survey of Epidemiology and Control. Tokyo: University of Tokyo Press.
  • Supali, T. dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal