Epidemiologi Leptospirosis
Definisi kasus, Gambaran Klinis, Etiologi, Masa Inkubasi, Sumber dan Cara Penularan, Pengobatan, Epidemiologi, Kejadian Luar Biasa, dan Penanggulangan Leptospirosis
Berikut Epidemiolgi leptospirosis, dari referensi tunggal “Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011”.
Berdasarkan laporan International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia sebagai negara dengan insiden Leptospirosis yang tinggi. Diperkirakan Leptospirosis sudah ada di 33 provinsi karena berkaitan dengan keberadaan binatang tikus (Rodent) sebagai reservoir utama disamping binatang penular lain seperti anjing, kucing, sapi dan lain-lain, serta lingkungan sebagai faktor resiko. Laporan insidens lepotospirosis sangat dipengaruhi oleh tersedianya perangkat laboratorium diagnostik, indeks kecurigaan klinik dan insidens penyakit itu sendiri.
Penularan pada manusia terjadi melalui paparan pekerjaan, rekreasi atau hobi dan bencana alam. Kontak langsung manusia dengan hewan terinfeksi di areal pertanian, peternakan, tempat pemotongan hewan, petugas laboratorium yang menangani tikus, pengawasan hewan pengerat. Sedangkan kontak tidak langsung penting bagi pekerja pembersih selokan, buruh tambang, prajurit, pembersih septictank, peternakan ikan, pengawas binatang buruan, pekerja kanal, petani kebun dan pemotongan gula tebu.
Penyakit ini sifatnya musiman. Di negara beriklim sedang puncak kasus cenderung terjadi pada musim panas dan musim gugur karena temperatur. Sementara pada negara tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.
DEFINISI KASUS
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian (WHO,2009). Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis yaitu :
Kasus Suspek
- Demam akut (>=38.5°C) dengan atau tanpa sakit kepala hebat, disertai : Mialgia (pegal-pegal), Malaise (lemah), Conjuctival suffusion
- Ada riwayat kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi bakteri Leptospira dalam 2 minggu sebelumnya:
- Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/ urine tikus saat terjadi banjir.
- Kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci, mandi berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dan lain-lain
- Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan dengan pekerjaan sebagai petani / pekerja perkebunan yang tidak mengunakan alas kaki.
- Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing yang dinyatakan secara Laboratori um terinfeksi Leptospira.
- Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti placenta, cairan amnion, menangani ternak seperti memerah susu, menolong hewan melahirkan dan lain-lain.
- Memegang atau menangani spesimen hewan/ manusia yang diduga terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.
- Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan pekerjaan seperti: dokter hewan, dokter, perawat, pekerja potong hewan, petani, pekerja perkebunan, petugas kebersihan di rumah sakit, pembersih selokan, pekerja tambang,pekerja tambak udang/ikan air tawar, tentara, pe m bu ru.
- Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobby dan olah raga seperti: pendaki gunung, memancing, berenang, arung jeram, trilomba juang (triathlon) dan lain-lain.
Kasus Probable
Pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar
Kasus suspek disertai minimal dua dari gejala:
- Nyeri betis (Calftenderness)
- Batuk dengan atau tanpa batuk darah
- Ikterus (kulit kuning)
- Manifestasi perdarahan (petekie, mimisan, gusi berdarah, melena, hematoschezia)
- Iritasi meningeal
- Anuria / oligouria dan atau proteinuria
- Sesak napas
- Aritmia jantung
- Ruam kulit
Penderita segera dirujuk ke Rumah Sakit
Pada Unit Pelayanan Kesehatan Rujukan II dan III
Kasus suspek disertai dengan IgM positif berdasarkan tes diagnostik cepat Rapid Test Diagnostik (RDT), dengan atau tanpa minimal tiga kriteria laboratorium berikut:
- pemeriksaan urin: proteinuria, piuria,hematuria
- relatif neutrofilia (>80%) dengan limfopenia
- trombosit < 100.000 sel/mm
- bilirubin > 2mg%; gangguan fungsi hati (SGPT, amilase, lipase serum, CPK)
Dengan atau tanpa Pemeriksaan serologi (MAT dengan titer ≥100/200 (80/160) pada pemeriksaan satu sampel)
Kasus Konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari berikut ini
- Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
- PCR positif
- Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal
- Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel
Apabila tidak tersedia fasilitias laboratorium : Hasil positif dengan menggunakan dua tes diagnostik cepat (RDT) yang berbeda dapat dianggap sebagai kasus confirm.
GAMBARAN KLINIS
Leptospirosis terbagi menjadi 2 berdasarkan diagnosa klinik dan penanganannya :
- Leptospirosis anikterik : kasusnya mencapai 90% dari seluruh kasus leptopsirosis yang dilaporkan. Biasanya penderita tidak berobat karena gejala yang timbul bias sangat ringan dan sebagian penderita sembuh dengan sendirinya.
- Leptospirosis ikterik ; menyebabkan kematian 30-50% dari seluruh kematian yang dilaporkan karena leptospirosis.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit Leptospirosis terbagi menjadi 3 fase, yaitu :
- Fase Leptospiremia ( 3 – 7 hari), terjadi demam tinggi, nyeri kepala, myalgia, nyeri perut,mual, muntah, conjuctiva suffusion.
- Fase immune ( 3 – 30 hari), terjadi demam ringan, nyeri kepala, muntah, meningitis aseptik.
- Fase Konvalesen (15 – 30 hari), terjadi perbaikan kondisi fisik berupa pulihnya kesadaran, menghilangnya ikterus, tekanan darah normal, produksi urine mulai normal.
Pada Penderita Leptospirosis dapat menimbulkan komplikasi :
- Pada ginjal : terjadi Acute Renal Failure, melalui mekanisme invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus. Kemudian terjadi reaksi immunology yang sangat cepat yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya reaksi non spesifik terhadap infeksi (iskemia ginjal).
- Pada mata : terjadi infeksi konjungtiva.
- Pada hati : terjadi jaundice(Kekuningan) setelah hari keempat dan keenam dengan adanya pembesaran hati (Hepatomegali) dan konsistensinya lunak.
- Pada Jantung : terjadi aritmia, dilatasi jantung dan gagal jantung.
- Pada Paru : terjadi haemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada dan cyanosis, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
- Perdarahan (Hematesis, Melena)
- Infeksi pada kehamilan : terjadi abortus dan kematian fetus (still birth)
- Komplikasi lain, meliputi kejadian cerebrovaskuler, rhabdomyolisis, purpura trombotik trombositopenia, cholecystitis calculus acute, erythemanodosum, stenosis aorta syndroma Kawasaki, arthritis reactive, epididimitis, kelumpuhan syaraf, hypogonadisme pria dan Guillain – Barre Syndrome.
ETIOLOGI
Leptospira yang sudah masuk ke dalam tubuh dapat berkembang dan memperbanyak diri serta menyebar ke organ tubuh. Setelah dijumpai leptospira di dalam darah (fase leptospiremia) akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotel kapiler (vasculitis).
MASA INKUBASI
Masa inkubasi dari penyakit Leptospirosis adalah 4 – 19 hari dengan rata-rata 10 hari.
SUMBER DAN CARA PENULARAN
Sumber penyakit Leptospirosis adalah tikus atau rodent, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung dan insektivora. Sedangkan rubah dapat menjadi karier dari leptospira, saat ini di Indonesia sumber penularan utama adalah tikus.
Manusia terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dicemari oleh air seni hewan penderita leptospirosis. Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi bakteri leptospira.
Masuknya kuman ini secara kualitatif berkembang bersamaan dengan proses infeksi pada semua serovar. Namun masuknya kuman ini secara kuantitatif bergantung dari agent, host dan lingkungan. Kuman akan tinggal di hati, limpa, ginjal selama beberapa hari, ini ditandai dengan perubahan patologis.
PENGOBATAN
Berdasarkan Expert Meeting Leptospirosis di Bandung bulan Juni 2011 cara pengobatan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
Kasus suspek ( dapat ditangani di Unit Pelayanan Dasar):
- Pilihan: Doksisiklin 2x100mg selama7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
- Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin): Amoksisilin 3x500mg/hari pada orang dewasa; atau 10-20mg/kgBB per 8 jam pada anak selama 7 (tujuh) hari.
- Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid
Kasus probable:
- Ceftriaxon 1-2 gram iv per selama7 (tujuh) hari.
- Penisilin Prokain 1.5 juta unit im per 6 jam selama7 (tujuh) hari
- Ampisilin 4 x 1 gram iv per hari selama7 (tujuh) hari
Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi: gagal ginjal, perdarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral), syok dan gangguan neurologi.
EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia, Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat, Indonesia , dan sebagainya.
Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan leptospirosis dengan mengisolasi serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Secara klinis leptospirosis pada manusia telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta oleh Van der Scheer. Namun isolasi baru berhasil dilakukan oleh Vervoort pada tahun 1922.
Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan, Pulau Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan hasil penyelidikan epidemiologi di Kuala Ci naku Riau, ditem u kan serovar pyrogenes, semara nga, rachmati, icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan tarasovi.
Pada Tahun 2010 baru 7 provinsi yang melaporkan kasus suspek Leptospirosis yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan.
Situasi Leptospirosis di Indonesia dari Tahun 2004 sampai tahun 2011 cenderung meningkat, tahun 2011 terjadi 690 kasus Leptospirosis dengan 62 orang meninggal (CFR 9%), mengalami kenaikan yang tajam bila dibandingkan 7 (tujuh) tahun sebelumnya, hal tersebut dikarenakan terjadi KLB di Provinsi Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kulon Progo). Kasus terbanyak dilaporkan Provinsi DI.Yogyakarta yaitu 539 kasus dengan 40 kematian (CFR 7,42%) dan Provinsi Jawa Tengah dengan 143 kasus dengan 20 kematian (CFR 10,6%).
Umumnya menyerang petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang / selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut dan areal persawahan, perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif untuk mengontrol kejadian Leptospirosis di masyarakat.
KEJADIAN LUAR BIASA
Penanggulangan KLB leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini serta pengobatan penderita untuk mencegah kematian. Intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyaian tikus. Vaksinasi hewan peliharaan terhadap leptospira.
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit atau laporan puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat tinggal penderita, tempat kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap :
Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/ kelurahan yang ada kasus Leptospirosis pencarian penderita baru berdasarkan gejala/tanda klinis setiap hari dari rumah ke rumah.Bila ditemukan suspek dapat dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml, kemudian darah tersebut diproses untuk mendapatkan serumnya guna pemeriksaan serologis di laboratorium. Serum dibawa dari lapangan dengan menggunakan termos berisi es, setelah sampai di sarana kesehatan disimpan di freezer 4° C sebelum dikirim ke Bagian Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang untuk dilakukan pemeriksaan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) untuk mengetahui jenis strainya.
Rodent dan hewan lainnya.
Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan pencarian penderita baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping). Spesimen serum tikus yang terkumpul di kirim ke BBvet Bogor untuk diperiksa secara serologis. Pemasangan perangkap dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah selama minimal 5 hari berturut-turut. Setiap perangkap (metal live traps) harus diberi label/nomor. Pemasangan perangkap dengan umpan dipasang pada sore hari dan pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi sekali. Tikus dibawa ke laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan organ dengan member label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBvet) di Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan :
- diagnosis KLB leptospirosis
- penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat kerja, dan sebagainya.
- Peta wilayah berdasarkan faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi lingkungan, dan sebagainya.
- Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan peningkatan dan penyebaran KLB. Serta rencana upaya penanggulangannya
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test (RDT) dengan mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis RDT diantaranya :
- Lepto Dipstick Assay : RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman Leptospira dalam serum. Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di 22 negara termasuk Indonesia, menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%. Metode relatif praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu 2,5 – 3 jam.
- Leptotek Dridot: Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya bisa dilihat dalam waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi seperti pada MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan pipet semiotomatik) pada kartu aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30 detik dan dinyatakan positif bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai sensitifitas 72,3% dan spesifitas 93,9% pada serum yang dikumpulkan dalam waktu 10 hari pertama mulai sakit.
- Leptotek Lateral Flow : Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL serum atau10 mL darah, dan 130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit. Leptotek Lateral Flow cukup cepat, mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru, relatif mudah, tidak memerlukan almari pendingin untuk menyimpan reagen, namun memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing bila memakai serum. Alat ini mempunyai sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
- Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
- Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa c. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya di suatu wilayah desa.
- Munculnya kesakitan leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang selama 1 tahun terakhir tidak ada kasus.
PENANGGULANGAN
Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku kepentingan dan sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan pengobatan yang tepat di puskesmas dan rumah sakit melalui penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko kematian serta tatacara pencarian pertolongan.
Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut :
- Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
- Pembersihan tem pat penyimpanan air dan kolam renang.
- Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan melindungi pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan, vaksinasi terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
- Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan tersebut terhadap masyarakat.
- Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang tikus.
- Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
Surveilans Ketat Pada KLB
- Pengamatan perkembangan jumlah kasus dan kematian leptospirosis menurut lokasi geografis dengan melakukan surveillans aktif berupa data kunjungan berobat, baik register rawat jalan dan rawat inap dari unit pelayanan termasuk laporan masyarakat yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
- Memantau perubahan faktor risiko lingkungan yang menyebabkan terjadinya perubahan habitat rodent (banjir, kebakaran, tempat penampungan pengungsi, daerah rawa dan gambut).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB
- Pemantauan terhadap kesakitan dan kematian leptospirosis.
- Pemantauan terhadap distribusi rodent serta perubahan habitatnya, banjir
- Pemantauan kolompok risiko lainnya, seperti petani, pekerja perkebunan, pekerja pertambangan dan selokan, pekerja rumah potong hewan, dan militer
Kepustakaan
- Bres, P.,Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
- Informal Expert Consultation on Surveillans, Diagnosis and Risk Reduction of Leptospirosis, Chennai,17- 18 September 2009
- Chin, James, Control of Communicable Diseases Manual , American Public Health Association, 17th Editions, 2000, Washington
- Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Petunjuk Teknis Pelaksanaan SKD-KLB Penyakit Menular dan Keracunan, 1995, Jakarta.
- Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Leptospirosis, Jakarta 2003.
- RSPI Sulianti Saroso Ditjen PP dan PL, Pedoman Tatalaksana Kasus dan pemeriksaan Laboratorium
Sumber: Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.