Public Health

Download Formulir Pelacakan Kasus AFP

Download Form Pelacakan Suspek AFP pada Kegiatan Surveilans AFP

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/x/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, disebutkan bahwa Penemuan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dapat dilakukan secara pasif dan aktif.

Penemuan secara pasif dilakukan melalui penerimaan laporan/informasi kasus dari fasilitas pelayanan kesehatan meliputi diagnosis secara klinis dan konfirmasi laboratorium. Sedangkan  penemuan secara aktif melalui kunjungan lapangan untuk melakukan penegakan diagnosis secara epidemiologi berdasarkan gambaran umum penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah yang selanjutnya diikuti dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Dalam hal kasus AFP, strategi penemuan kasus AFP dilaksanakan melalui surveilans berbasis Rumah Sakit dan berbasis masyarakat.

Sebagai pengingat kembali tentang kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB), sesuai Permenkes diatas, bahwa suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

  1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
  2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
  3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
  4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
  5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
  6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
  7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

Secara Etiologi, virus polio terdiri dari 3 strain yaitu strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae. Perbedaan tiga jenis strain terletak pada sekuen nukleotidanya.  Strain-1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang strain-2 paling jinak. Masa Inkubasi Masa inkubasi biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari.

Sumber dan Cara Penularan Polio, dapat dijelaskan bahwa virus ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (saliva) atau tinja penderita yng infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung manusia ke manusia (fekal – oral atau oral-oral) pada waktu 3 hari sebelum dan sesudah masa prodmal.

Jika ditemukan penderita, tatalaksana kasus lebih ditekankan apada tindakan suportif dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak diusahakan kembali berfungsi senormal mungkin. Sebaiknya penderita dirawat inap selama minimal 7 hari atau sampai penderita melampaui masa akut.

Secara epidemiologi ditemukan, bahwa Polio merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang dapat dibasmi. Strategi untuk membasmi polio dengan meniadakan virus polio dari tubuh manusia dengan cara pemberian imunisasi. Strategi yang sama telah digunakan untuk membasmi penyakit cacar (smallpox) pada tahun 1977, sehingga penyakit Cacar adalah satu-satunya penyakit yang telah berhasil dibasmi.

Dengan upaya keras yang telah dilakukan, polio telah berhasil dibasmi pada tiga di dunia, yaitu benua Amerika (1998), Pasifik Barat (2000) dan Eropa (2002) . Di wilayah selebihnya, seperti Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Afrika, polio telah sangat terfokus dan hanya terjadi di beberapa negara yang menjangkiti beberapa propinsi saja

Kejadian Luar Biasa Polio

Definisi KLB Polio, adalah ditemukannya satu kasus polio liar. Kejadian KLB polio dapat dinyatakan berakhir setelah paling sedikit selama enam bulan sejak ditemukan virus polio terakhir, tidak ditemukan virus polio. Keadaan tersebut sebagai hasil dari serangkaian upaya penanggulangan dan berdasarkan pemantauan ketat melalui pelaksanaan surveilans AFP dan virus polio.

Prosedur jika terjadi KLB,  harus dilakukan Penyelidikan Epidemiologi polio, yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis (pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis) di lokasi kejadian. Tujuan kegiatan ini antara lain untuk :

  1. Identifikasi adanya penularan setempat
  2. Identifikasi wilayah dan populasi berisiko terjadinya kasus atau daerah risiko tinggi terjadinya penularan
  3. Identifikasi desa yang perlu segera dilaksanakan Imunisasi Polio Terbatas (ORI)
  4. Identifikasi Provinsi yang akan melaksanakan imunisasi mopping up

Jika terjadi KLB polio, berbagai upaya penanggulangan harus dilakukan. Upaya ini merupakan serangkaian kegiatan untuk menghentikan transmisi virus polio liar atau cVDPV di seluruh wilayah serta upaya pencegahan kecacatan yang lebih berat karena menderita poliomielitis anterior akuta. Benanggulangan KLB meliputi tatalaksana kasus dan pemberian imunisasi. Pada  upaya penatalaksaaan Kasus Polio, terutama dilakukan sebagai untuk penemuan dan perawatan dini untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah bertambah beratnya cacat serta yang penting lagi  untuk mencegah terjadinya penularan ke orang lain melalui kontak langsung (droplet) dan pencemaran lingkungan (fecal-oral) – pengendalian infeksi

Sementara, berbagai bentuk upaya penanggulangan melalui  kegiatan munisasi dilakukan dengan strategi :

  1. Respon Imunisasi OPV Terbatas (Outbreak Response Immunization/ORI), Merupakan pemberian 2 tetes vaksin polio oral (OPV) kepada setiap anak berumur <5 tahun di desa/kelurahan berisiko penularan virus polio (terutama desa tempat tinggal kasus dan desa¬desa sekitarnya) tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya, sesegera mungkin (3×24 jam pertama) dan selambat-lambatnya minggu pertama sejak terdeteksi adanya kasus atau virus polio. Imunisasi OPV Terbatas (ORI) tidak dilakukan lagi dalam seminggu terakhir sebelum pelaksanaan Imunisasi Mopping up. Tujuan Imunisasi OPV Terbatas untuk mencegah timbulnya penyakit polio pada anak-anak yang kontak erat serumah, sepermainan (penularan langsung) dan anak-anak yang kemungkinan tertular virus polio melalui pencemaran virus polio secara fekal-oral
  2. Pelaksanaan Imunisasi Mopping Up, yang dilaksanakan pada wilayah yang telah bebas polio, yang kemudian terjadi transmisi virus polio secara terbatas yang dibuktikan melalui surveilans AFP yang memenuhi standar kinerja WHO. Imunisasi mopping-up adalah pemberian 2 tetes vaksin OPV (Oral Polio Vaccine) monovalen yang spesifik untuk satu tipe virus polio (mOPV) yang diberikan secara serentak pada setiap anak berusia < 5 tahun tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya serta dilaksanakan sebagai kampanye intensif dari rumah ke rumah dan mencakup daerah yang sangat luas. Seringkali untuk memudahkan pemahaman masyarakat tentang tindakan imunisasi ini, maka Imunisasi mopping-up pada satu atau beberapa Provinsi disebut sebagai Sub Pekan Imunisasi Nasional (Sub-PIN), sementara Imunisasi Mopping Up di seluruh wilayah Indonesia disebut sebagai Pekan Imunisasi Nasional (PIN).

Sistem Kewaspadaan Dini KLB Polio

Untuk meningkatkan sensitifitas dalam mengidentifikasi kemungkinan masih adanya kasus polio dan penularan virus polio liar di suatu wilayah, maka pengamatan dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya layuh (flaccid), seperti sifat kelumpuhan pada poliomielitis, dan terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun. Penyakit-penyakit yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomielitis disebut kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP). Dan pengamatannya disebut Surveillans AFP (SAFP).  Secara garis besar, tujuan surveilans AFP adalah untuk Identifikasi daerah risiko tinggi, Monitoring program eradikasi polio, dan Sertifikasi bebas polio.

Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis)

Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis, merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk membebaskan Indonesia dari penyakit polio (Eradikasi Polio). Beberapa upaya penting lain yang dilaksanakan antara lain dengan pemberian imunisasi polio secara rutin, pemberian imunisasi tambahan (PIN, Sub PIN, Mopping-up) pada anak balita, serta pengamanan virus polio di laboratorium (Laboratory Containtment).

Sebagian besar kasus poliomielitis bersifat non-paralitik atau tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Sebagian kecil ( 1 %) saja dari kasus poliomielitis yang menimbulkan kelumpuhan (Poliomielitis paralitik). Dalam surveilans AFP, pengamatan difokuskan pada kasus poliomielitis yang mudah diidentifikasikan, yaitu poliomielitis paralitik. Ditemukannya kasus poliomielitis paralitik di suatu wilayah menunjukkan adanya penyebaran virus-polio liar di wilayah tersebut.

Untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus polio, maka pengamatan dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya flaccid (layuh), seperti sifat kelumpuhan pada poliomielitis. Penyakit-penyakit ini—yang mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomielitis—disebut kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut sebagai Surveilans AFP (SAFP). Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut (AFP) pada anak usia < 15 tahun yang merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit polio.

Kasus AFP

  1. Kasus AFP : Semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (Iayuh), terjadi secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa
  2. Yang dimaksud kelumpuhan terjadi secara akut adalah: perkembangan kelumpuhan yang berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 — 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal.
  3. Yang dimaksud kelumpuhan flaccid adalah: Kelumpuhan bersifat lunglai, lemas atau layuh bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot.
  4. Dalam hal ada keraguan dalam menentukan sifat kelumpuhan apakah akut dan flaccid, atau ada hubungannya dengan ruda paksa/kecelakaan, laporkanlah kasus tersebut sebagai kasus AFP.
  5. Semua penderita berusia 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus poliomyelitis oleh dokter, dilakukan tatalaksana seperti kasus AFP.

Kasus polio pasti (confirmed polio case): Kasus AFP yang pada hasil pemeriksaan tinjanya di laboratorium ditemukan virus polio liar, cVDPV, atau hot case dengan salah satu spesimen kontak positif VPL.

Kasus Polio Kompatibel : Kasus AFP yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain: a). Spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari setelah terjadinya kelumpuhan. b). Spesimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan ulang 60 hari. Kasus polio kompatibel hanya dapat ditetapkan oleh Kelompok Kerja Ahli Surveilans AFP Nasional berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemiologis maupun kunjungan lapangan.

Secara umum tujuan surveilans AFP adalah :

  1. Mengidentifikasi daerah risiko tinggi, untuk mendapatkan informasi tentang adanya transmisi VPL, VDPV, dan daerah dengan kinerja surveilans AFP yang tidak memenuhi standar/indikator.
  2. Memantau kemajuan program eradikasi polio. Surveilans AFP memberikan informasi dan rekomendasi kepada para pengambil keputusan dalam rangka keberhasilan program ERAPO.
  3. Membuktikan Indonesia bebas polio. Untuk menyatakan bahwa Indonesia bebas polio, harus dapat dibuktikan bahwa: Tidak ada lagi penyebaran virus-polio liar maupun Vaccine Derived Polio Virus (cVDPV) di Indonesia.Sistem surveilans terhadap polio mampu mendeteksi setiap kasus polio paralitik yang mungkin terjadi.

Sedangkan tujuan Khusus

  1. Menemukan semua kasus AFP yang ada di suatu wilayah.
  2. Melacak semua kasus AFP yang ditemukan di suatu wilayah.
  3. Mengumpulkan dua spesimen semua kasus AFP sesegera mungkin setelah kelumpuhan.
  4. Memeriksa spesimen tinja semua kasus AFP yang ditemukan di Laboratorium Polio Nasional.
  5. Memeriksa spesimen kontak terhadap Hot Case untuk mengetahui adanya sirkulasi VPL.

Untuk membuktikan apakah kelumpuhan disebabkan oleh polio atau bukan, dilakukan pemeriksaan tinja penderita di laboratorium polio nasional yang telah ditentukan. Namun apabila spesimen tinja penderita tidak bisa diambil atau tidak memenuhi syarat (tidak adekuat), maka perlu dilakukan pemeriksaan klinis apakah masih terdapat sisa kelumpuhan setelah 60 hari kelumpuhan. Oleh sebab itu bagi penderita dengan spesimen tidak adekuat tersebut dilakukan pemeriksaan residual paralisis setelah 60 hari kelumpuhan, bukan 60 hari sejak ditemukan.

Untuk mengukur sensitifitas penemuan kasus AFP, ditetapkan indikator Non polio AFP rate 2 per 100.000 anak berusia kurang 15 tahun pertahun dan spesimen adekuat 80 %. Kedua indikator ini lebih akurat untuk mengukur kinerja surveilans AFP di daerah berpenduduk besar yaitu dengan jumlah populasi anak usia kurang 15 tahun 50.000 orang, disamping indikator pelaporan rutin termasuk zero reporting. Dalam surveilans AFP berlaku pelaporan nihil (zero reporting) , yaitu laporan harus dikirimkan dengan teratur dan tepat waktu pada saat yang telah ditetapkan, walaupun tidak dijumpai kasus AFP selama periode waktu tersebut.

Laporan yang dikirim dalam keadaan tidak ada kasus tersebut adalah dengan menuliskan jumlah kasus “0” (nol), “tidak ada kasus”, atau “kasus nihil”. Zero reporting merupakan suatu pembuktian ada/tidaknya kasus AFP di rumah sakit dan wilayah kerja puskesmas setelah dilakukan pemantauan. Di daerah dengan populasi anak usia kurang 15 tahun < 50.000 orang, untuk mengukur sensitifitas penemuan kasus AFP dapat menggunakan indikator zero reporting rumah sakit dan puskesmas.

Surveilans AFP mencari kasus AFP bukan mencari kasus polio.

Setelah kasus AFP ditemukan, maka dilakukan tatalaksana kasus, yaitu pemeriksaan kasus dan pengisian format pelacakan (FP1), pengambilan spesimen tinja, pemeriksaan laboratorium dan, bila diindikasikan, pemeriksaan residual paralisis.

Dalam pemeriksaan kasus dibutuhkan keterampilan yang memadai untuk menentukan lokasi, sifat, waktu kelumpuhan, dan status imunisasi polio. Hasil pemeriksaan kasus tersebut dicatat kedalam format FP1. Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan lokasi, sifat, dan waktu kelumpuhan, maka diperlukan peran dokter ahli termasuk dalam menentukan diagnosis klinis.

Semua kasus AFP dengan kelumpuhan < 2 bulan dilakukan pengambilan tinja 2 kali dengan interval waktu minimal 24 jam. Apabila pengambilan spesimen tinja yang pertama dan kedua dilakukan 14 hari pertama kelumpuhan dan spesimen tersebut diterima di laboratorium dalam kondisi baik, maka disebut spesimen adekuat. Pada periode < 14 hari pertama kelumpuhan masih mungkin ditemukan virus polio di dalam tinja sebesar 63-96%, sehingga hasil laboratorium dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat untuk menentukan kasus AFP ini disebabkan karena polio atau bukan polio.

Apabila hasil virus polio liar negatif dari spesimen yang diambil lebih dari 14 hari sampai kurang dari 2 bulan, maka kasus AFP belum dapat dipastikan bukan karena polio karena konsentrasi virus polio dalam tinja sebesar ± 35%. Apabila kelumpuhan lebih dari 2 bulan, maka virus polio kecil kemungkinan ditemukan dalam tinja (5-10%), sehingga kasus AFP tersebut tidak perlu dilakukan pengambilan spesimen tinja.

Spesimen yang telah diambil segera dimasukkan dalam specimen carrier dan dikirim ke laboratorium polio nasional dengan menjaga suhu tetap pada temperatur 2-8° Celcius. Kasus AFP dengan spesimen tidak adekuat atau hasil laboratorium positif virus polio vaksin (sabin like), maka dilakukan pemeriksaan ulangan 60 hari setelah kelumpuhan untuk memastikan ada/tidaknya residual paralysis. Bila perlu melibatkan dokter yang melakukan pemeriksaan awal.

Beberapa kebijakan terkait AFP ini antara lain :

  1. Satu kasus AFP merupakan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB).
  2. Semua kasus yang terjadi pada tahun yang sedang berjalan harus dilaporkan. Sedangkan kasus AFP yang kelumpuhannya terjadi pada tahun lalu, tetap dilaporkan sampai akhir bulan Mei pada tahun yang sedang berjalan.
  3. Laporan rutin mingguan termasuk laporan nihil, memanfaatkan laporan mingguan PWS-KLB (W2) untuk puskesmas dan surveilans aktif rumah sakit (FP-PD).
  4. Mengintegrasikan laporan rutin bulanan dengan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
  5. Kasus AFP yang tidak bisa diklasifikasikan secara laboratoris dan atau masih terdapat sisa kelumpuhan pada kunjungan ulang 60 hari, maka klasifikasi final dilakukan oleh Kelompok Kerja Ahli Surveilans AFP Propinsi/Nasional.
  6. Melakukan pemeriksaan spesimen tinja terhadap 5 orang kontak Hot Case.

Formulir Pelacakan Kasus AFP Dapat DOWNLOAD Disini


Refference, antara lain:

  1. Buku pedoman penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan (pedoman epidemiologi penyakit), Edisi Revisi Tahun 2011;
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/Menkes/Per/x/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan
  3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 483/Menkes/Sk/Iv/2007 Tentang Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP)

Incoming Search Terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal