Public Health

Mengapa Harus ORI?

Outbreak Respon Immunization pada KLB Difteri , antara Kriteria dan Kajian Epidemiologi

Oleh : Jrenk

Akhir tahun ini, tahun 2017, ditandai dengan hiruk pikuk KLB Difteri. Sebagian awam pun saat ini sudah familier dengan istilah KLB. Dengan kecepatan informasi era medsos, begitupun kecepatan masyarakat merespon kejadian luar biasa ini.

Data yang dirilis kementerian kesehatan menyebutkan, terjadinya peningkatan signifikan jumlah penderita difteri pada hampir seluruh propinsi di Indonesia. Jawa Timur menempati jumlah terbanyak jumlah kasus. Namun data lain juga menginformasikan jumlah kasus difteri di Jawa Timur menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Seiring dengan merebaknya kasus dan informasi difteri, hari itu sengaja saya sowan ke bude Jamillah, sebagaimana rutinitas sillarurrahim saya selama ini. Ngobrol “ngalor ngidul ngetan ngulon”. Kadang tidak jelas ujung jarum kompasnya, dengan batas maksimal tegukan terakhir teh tarik yang selalu diseduhkan beliau untuk keponakan “jamanNow” nya ini.

Mengapa KLB?

Menurut Bude Jamillah, salah satu standar baku yang dibuat kementerian kesehatan, tentu dengan merujuk banyak referensi adiluhung (WHO< CDC, dan semacamnya), kebijakannya menggariskan bahwa, suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 (baca, SATU) Suspek Difteri. Dan ini merupakan tingkatan terendah dari hierarki pengkategorian kasus difteri (walaupun tidak selalu mesti dibaca ordinal/interval begitu). KIta bisa menyebutkan rangkaian berikutnya setelah Suspek,berturut-turut kemudian Probable, Kasus konfirmasi laboratorium, Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi, Kasus kompatibel klinis, Kasus kontak, dan Kasus carrier.

Sebagai level tertinggi sebuah tindakan kewaspadaan, Bude mafhum akan hubungan suspek dengan status KLB ini. Namun bude menjadi bingung ketika suspek berubah menyandang status “negatif” pada hasil konfirmasi lab PCR nya. Bagiamana kemudian mekanisme bisa menjawabnya. Tentu konsekuensi status KLB dengan rangkaian tindakannya (ORI) baik-baik saja terhadap pencegahan penyebaran difteri. Hanya bude sedikit “miris” dengan konsekuensi dana, tenaga, beban psikologi petugas, dan seterusmya. Beliau masih “njit njiten” teringat kampanye imunisasi MR. Bagaimana beliau harus pontang panting melawan hoax, dan meyakinkan masyarakat pasca hoax itu.Sangat menguras darah dan air mata (ah … bude mulai lebay).

Secara epidemiologi dikatakan, difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi, disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit. Ada klausul “toxin”, pada pengertian diatas.Dan prosedur konfirmasi toxin dilakukan dengan uji PCR di lab. Bagaimana jika hasil uji lab menyimpulkan “negatif”? Akankah secara “epidemiologi” tetap berlaku status KLB? Tentu dengan mudah kita bisa merujuk acuan legal formal sebuah kebijakan. Namun bude masih tetap belum mampu mengurai aspek faktual epidemiologinya.

Dalam hati kecil bude, mengapa satu “suspek” sudah masuk level tertinggi prosedur respon? Bude Jamillah mencatat, lebih tepatnya belum menemukan hubungan itu. Entah itu bernama strategi eradikasi, eliminasi atau lainnya. Yang masih beliau ingat beberapa target program imunisasi misalnya soal mempertahankan Eradikasi Polio; Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE); Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela/CRS. Sepertinya bude akan lebih berlapang dada, jika misalnya ORI untuk suspek polio karena “maqomnya”memang sudah “eradikasi”.

Lalu mengapa harus ORI?

Sampai disini nalar awam Bude Jamilah mulai kembang kempis mencoba menganalisa. Bahwa setiap suspek difteri melahirkan status KLB, kemudian akan ditindak lanjuti dengan sebuah respon cepat pemberian imunisasi pada lokasi kejadian dengan sasaran sesuai kajian epidemiologi. Range terluas sasaran (berdasarkan kajian ini) anak usia 0 s/d kurang dari 19 tahun. Dan ini dilakukan sebanyak tiga putaran dengan interval waktu 0-1-6 bulan. Dan tanpa memandang status imunisasi.

Kebijakan dan standard operating procedure diatas kemudian dikenal dengan sebutan Outbreak response immunization (ORI). Merupakan sebuah strategi yang dilakukan untuk mengendalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang dilakukan di wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi tertentu yang berisiko tertular (baca difteri). Tujuan ORI untuk meningkatkan kekebalan populasi sehingga mampu mencegah meluasnya penularan, selain untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Sekilas kulirik alis Bude terlihat “gathuk” persis diujung ekor matanya. Ini pertanda respon spontan beliau jika sudah berfikir cukup keras, namun “zonk” out put nya. Rupanya lagi-lagi bude dibuat pusing, dengan klausul “kajian epidemiologi” pada standar respon cepat diatas. Yang masih beliau ingat, kajian epidemiologi tidak lepas dari tiga konsep dasar, yaitu aspek Orang, Tempat, dan aspek Waktu dari sebuah kejadian yang bermakna secara epidemiologi.

Bude sempat membaca sebuah “Faq” dari sebuah organisasi yang sangat bude kenal totalitas komitmennya pada upaya pencegahan dan pengendalian PD3I. Disana antara lain disebutkan bahwa penentuan suatu daerah dapat masuk kriteria ORI, antara lain didasarkan pada banyaknya kasus baru, tingkat kemudahan penularan dan besarnya potensi menimbulkan wabah (morbiditas dan mortalitas tinggi), tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi, serta kesiapan sarana, prasarana, dan Sumber daya manusia.

Bude Jamillah masih kesulitan menerjemahkan standar dan kriteria ORI diatas. Beliau merujuk pada kondisi di wilayahnya. Beberapa hal beliau jelaskan dengan sangat sederhana (sesuai level pemahanan awam beliau):

Bahwa sebanyak 87% suspek difteri berusia kurang dari 5 tahun, dan belum ditemukan hasil positif berdasarkan hasil uji laboratorium pada seluruh suspek. Walaupun tentu saja banyak data menunjukkan bahwa ORI akan sangat efektif mencegah dan menghentikan penularan, namun tiadanya hasil positif lab, masih mengganjal soal kausalitas ORI di pemahaman Bude, terlepas dari aspek teknis uji PCR difteri dan seterusnya. Kemudian berdasarkan wilayah tempat tinggal, suspek berada pada beberapa wilayah desa dan kecamatan, dimana Bude kesulitan menghubungkan benang merah aspek Tempat ini. Darimana harus memulai untuk menemukan pola dan kausalitas dengan mobilitas penduduk . Masih abstrak bagi Bude.

Berdasarkan aspek waktu, secara sederhana dijelaskan bude, bahwa suspek ditemukan tersebar mulai bulan Maret, April, Juli, Oktober, November, dan Desember 2017. Suspek terbanyak ditemkan pada bulan April dan Desember. Dapat dengan mudah diperkirakan, bahwa bude juga kesulitas menganalisa aspek waktu ini. Mengapa dan ada apa di bulan April dan Desember. Jangan-jangan karena Desember difteri lagi jadi trending topic, sehingga seluruh alat deteksi berada pada level sensifitas tertinggi. Sedikit ada keluhan nyeri telan, orang langsung curiga difteri, dan seterusnya. Atau jangan-jangan karena tahun politik. Atau jika mau sedikit fair, jangan-jangan karena akumulasi cakupan imunisasi selama ini.

Optimistis vs Realistis

Sebelum tegukan terakhir teh tarik yang disuguhkan bude, saya sodorkan salah satu tulisan “suhu” difteri jawa timur, yang dimuat pada salah satu kolom Jawa Pos. Saya bilang, analisa bude sedikit punya referensi pendukung. Soal pengalaman Russia yang delapan tahun menuntaskan KLB Difterinya, soal kebijakan politis desentralisasi anggaran, dan lainnya.

Beliau tersenyum kecut, membayangkan pekerjaan besar ORI. Dengan sasaran, frekuensi, dan interval yang diadopsi kementerian kesehatan. Beliau tahu persis bagaimana teman-teman pelaksana dibawah berjuang ketika kampanye MR bulan Agustus dan September kemarin. Dan ORI? jumlah sasaran akan jauh lebih besar, frekuensinya 3x lipat. Sebuah kampanye MR yang “thirik-thirik” sudah direncanakan dengan sangat detail, baik kegiatan, anggaran, time schedulle, toh pada pelaksanaannya tetap sangat kompleks permasalahannya (bahkan menyisakannya hingga saat ini).

Lalu bagaimana dengan ORI? Tiba-tiba dia muncul di akhir tahun. Tanpa diundang, tanpa direncanakan. Bude bilang, ada rumah besar bernama Kejadian Luar Biasa, rumah besar bencana, rumah besar force majeur. Rumah besar itu boleh jadi mudah didapatkan (baca:anggaran) karena klausul kontrak pembeliannya jelas. Namun bagaimana kemudian melengkapi assesories di dalamnya? Bagaimana merencanakan dan melaksanakannya? Walaupun sistem sudah berjalan, bude masih ingat kampanye MR dulu yang masih menyisakan penolakan disana sini (karena hoax, isus halal haram dan seterusnya).

Cakupan luas ORI juga masih mengganjal di hati Bude. Respon awam pengetahuan minimalis epidemiologinya, masih mempertanyakan mengapa wilayahnya termasuk kriteria ORI. Sementara analisa dangkalnya soal keterkaitan aspek waktu, tempat, dan orang (sebagaimana disebutkan diatas), belum klik pada analisa beliau. Akan lebih fair secara epidemiologi jika ORI dilaksanakan diseluruh wilayah. Toh para suhu sangat yakin konsep ORI sebagai imunisasi tambahan pada wilayah KLB, pada populasi tertentu yang berisiko tertular, untuk meningkatkan kekebalan populasi.

Saya bilang pada Bude, mungkin hal itu menyangkut keterbatasan dana.
Dengan nada datar, beliau berucap, usah bicara dana dulu untuk sebuah bencana. Toh kita semua sangat yakin, ORI merupakan sebuah tindakan sangat sepadan untuk menghentikan penyebaran difteri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal