Teori Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Belajar dari berbagai pendekatan pembangunan terdahulu, sebagian pendapat menyatakan bahwa keengganan atau kealpaan pemerintah pusat untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri serta cara merealisasikannya melalui proses pembangunan. Konsep pemberdayaan (empowerment), sebagai konsep alternatif pembangunan pada intinya menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandas pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007) .
Dalam bidang kesehatan, pemberdayaan sudah menjadi isue penting sejak Ottawa Charter 1986, yang selanjutnya berkembang sebagai respon birokrasi terhadap kemajuan pergerakan sosial. Banyak promotor kesehatan yang fokus kepada pemberdayaan masyarakat, memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai suatu kondisi ketika masyarakat memiliki kontrol terhadap berbagai keputusan yang mempengaruhi kesehatan dan hidupnya. Secara spesifik, pemberdayaan masyarakat didefinisikan sebagai perubahan ke arah persamaan hak dalam kehidupan sosial terkait dengan sumber daya, otoritas, legitimasi atau pengaruh (Laverack and Labonte, 2000).
Beberapa definisi pemberdayaan masyarakat menurut beberapa ahli, antara lain sebagai berikut :
- Kartasasmita (1997) : Upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
- WHO : Proses individu memperoleh kontrol yang besar terhadap keputusan dan aksi yang mempengaruhi kesehatannya.Prijono dan Pranarka (1996) : Aksi emansipasi dan liberalisasi manusia serta penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasa.
- Blanchard (2002 ): Membangkitkan dan memusatkan daya masyarakat, karena masyarakat pada dasarnya sudah memiliki daya melalui pengetahuan dan motivasi yang mereka miliki.
- Sutoro (2002) : Pembangunan yang dibuat secara demokratis, desentralistik dan partisipatoris, dengan masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan.
- Sadan (2004) : Mengelola individu untukmemperoleh kontrol yang lebih baik terhadap kehidupannya, baik dengan kemampuan sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
- Sunartiningsih (2004) :Upaya membantu masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan mampu mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri.
- Kriger (2007) : Memobilisasi inisiatif masyarakat.
- Bartle (2007) : Peningkatan kekuatan dan pengembangan kapasitas untuk mencapai tujuan. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat segala sesuatunya mudah bagi masyarakat, tetapi mengajak masyarakat untuk berjuang dan melawan agar menjadi kuat
- Civic Forum London (2008) : Membantu individu dalam masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan diri, keterampilan dan kemampuan untuk mempengaruhi kondisi lingkungannya secara langsung atau melalui lembaga masyarakat
- Ife dan Tesoriero (2008) : Pemberdayaan betujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged)
Menurut Sunartiningsih (2004), tujuan pemberdayaan masyarakat adalah mendorong terciptanya kekuatan dan kemampuan lembaga masyarakat untuk secara mandiri mampu mengelola dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri, serta mampu mengatasi tantangan persoalan di masa yang akan datang. WHO menjelaskan, pemberdayaan masyarakat bertujuan memobil isasi individu dan kelompok yang lemah dengan memperkuat keterampilan hidup dasar dan meningkatkan pengaruhnya terhadap kondisi sosial dan ekonomi.
Kartasasmita (1997) menjelaskan, pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan yang bersifat siklus dan berakhir apabila masyarakat sudah mandiri. Tahapan atau fase pemberdayaan masyarakat menurut Adi (2003) terdiri dari 5 tahapan, yaitu persiapan, pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sulistiyani (2004), menjelaskan tahapan pemberdayaan masyarakat meliputi 1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli; 2) tahap transformasi kemampuan, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan sehingga dapat berperan; 3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif menuju mandiri. Terdapat pendapat lain, yaitu peningkatan kesadaran kritis masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan perencanaan partisipatif.
Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi” bukan sebuah “proses instant”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai 3 tahapan, yaitu : penyadaran, peningkatan kapasitas dan pemberian daya (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007).
Tahap Pertama
Pada tahap pertama, masyarakat diberi pengetahuan yang bersifat kognitif, belief, healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand”) diberdayakan, dan proses pemberdayaan tersebut dimulai dari dalam diri mereka (bukan dari orang luar).
Tahap kedua
Tahap kedua adalah peningkatan kapasitas, sering disebut dengan istilah capacity building atau enabling. Ada 3 jenis capacity building, yaitu manusia, organisasi dan sistem nilai. Peningkatan kapasitas manusia dalam arti memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok, dapat dilakukan dengan pelatihan, lokakarya, seminar, sosialisasi, diseminasi informasi dan sejenisnya. Peni ngkatan kapasitas organisasi dilakukan dengan merestrukturisasi organisasi yang ada atau membentuk organisasi baru yang spesifik dengan kegiatan. Peningkatan kapasitas ketiga adalah sistem nilai atau “aturan main” yang dapat dilakukan dengan membantu masyarakat membuat “aturan main”atau kesepakatan diantara mereka send iri.
Tahap ke tiga
Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment. Pada tahap ini masyarakat diberi daya, kekuasaan, otoritas atau peluang. Masyarakat diberi kewenangan dalam mengidentifikasi masalah dan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat juga diberi ukuran-ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat pada tahap ketiga ini muncul dalam bentuk perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif merupakan penentuan tujuan dan penyusunan kegiatan untuk mencapai tujuan yang dilakukan oleh masyarakat .