Public Health

Pengobatan Malaria

Obat Anti Malaria di Indonesia, Efektifitas dan Jenisnya

Manifestasi klinis penyakit malaria sangat beragam mulai dari tanpa gejala, tanpa komplikasi sampai gejala berat atau komplikasi. Manifestasi klinis penyakit malaria antara lain dipengaruhi oleh status kekebalan seseorang, beratnya infeksi (kepadatan parasit), strain Plasmodium, status gizi dan sebagainya (Harijanto, 2009). Sedangkan gejala utama malaria adalah demam dan menggigil secara berkala, berkeringat, sakit kepala, nyeri otot. Gejala klinis lainnya badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah, nafsu makan menurun, mual kadang diikuti muntah, sakit kepala yang berat terus menerus khususnya pada infeksi P. falciparum. Jika malaria berlangsung kronik maka gejala-gejala tersebut di atas dapat disertai dengan pembesaran limpa sedangkan pada kasus malaria berat disertai dengan kejang-kejang dan penurunan kesadaran serta koma. Menurut Natadisastra dan Agoes (2009), diduga terjadinya demam berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon). Akhir-akhir ini demam dihubungkan dengan pengaruh GPI (Glycosyl phosphatidylinositol) atau sitokin atau toksin. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi seperti di daerah hiperendemik, banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik malaria ialah demam periodik, anemia dan splenomegali.

Sedangkan pengobatan malaria, umumnya mengacu pada rekomendasi WHO. Di Indonesia, saat ini selain tersedia obat antimalaria standar (klorokuin, kina, primakuin dan sulfadoksin-pirimetamin) juga tersedia obat antimalaria golongan artemisin. Sementara menurut Depkes (2007), obat antimalaria dapat dibagi berdasarkan cara kerja selektifnya pada fase yang berbeda dari siklus hidup parasit. Obat yang bekerja terhadap merozoit di eritrosit (fase eritrosit) sehingga tida terbentuk skizon baru dan tidak terjadi penghancuran eritro sit disebut skizontosida darah (klorokuin, kuinin dan meflokuin). Obat yang bekerja pada parasit stadium pre-eritrositer (skizon yang baru memasuki jaringan hati) sehingga dapat mencegah parasit menyerang eritro sit disebut skizontosida jaringan (pirimetamin dan primakuin). Obat yang dapat membunuh gametosit yang berada dalam eritrosit sehingga transmisi ke nyamuk dihambat disebut gametosida (klorokuin, kina dan primakuin). Obat yang dapat menghambat perkembangan gameto sit lebih lanjut di tubuh nyamuk yang menghisap darah manusia sehingga rantai penularan putus disebut sporontosida (primakuin dan proguanil).Pengobatan Malaria

Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kllnis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan (Depkes RI, 2008).

Beberapa jenis obat antimalaria yang sudah digunakan di Indonesia di antaranya adalah:

Kina
Kina merupakan obat antimalaria kelompok alkaloid kinkona yang bersifat skisontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini merupakan obat antimalaria alternatif untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (multidrug) (Zein, 2005; Gunawan 2009).

Klorokuin
Klorokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-aminokuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium pada manusia sehingga dip akai sebagai obat malaria klinis dengan menekan gejala klinis. Obat ini juga bersifat gametosidal (melawan bentuk gamet) immature (muda) pada P. vivax, P. ovale, P. malariae dan P. falciparum (stadium 1-3). Obat ini tidak efektif terhadap bentuk intrahepatic, digunakan bersama primakuin dalam pengobatan radikal pada P. vivax dan P. ovale. Penggunaan klorokuin sebagai pilihan pertama mulai terbatas karena berkembangnya resistensi klorokuin dari P. falciparum dan P. vivax (Depkes, 2008).

Sulfadoksin-primetamin
Menurut Zein (2005), Sulfadoksin-pirimetamin adalah obat antimalaria kombinasi antara golongan sulfonamide/ sulfon dengan diaminopirimidine yang bersifat skizontosida jaringan, skizontosida darah dan sporontosidal. Obat ini sangat praktis karena dapat diberi dalam dosis tunggal namun obat ini memiliki kelemahan karena mudah mengalami resistensi. Oleh karena itu kombinasi obat ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falsiparum di daerah yang resisten terhadap klorokuin.

Primakuin
Menurut Depkes RI (2008), Primakuin merupakan obat antimalaria kelompok senyawa 8-aminokuinolin yang sangat efektif melawan gametosit seluruh spesies Plasmodium. Obat ini juga aktif terhadap skizon darah P. falciparum dan P. vivax tetapi dalam dosis tinggi sehingga harus berhati-hati, efektif terhadap skizon jaringan P. falciparum dan P. vivax

Derivat Artemisinin
Menurut Depkes RI (2008), derivat artemisinin merupakan kelompok obat antimalaria baru yang penggunaannya terbatas pada daerah-daerah yang resistensi klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin.

Pengobatan Malaria dengan Obat Kombinasi Artemisinin
Menurut WHO (2010), konsep pengobatan menggunakan kombinasi dari dua atau lebih obat antimalaria dapat mencegah berkembangnya resistensi dari masing-masing obat kombinasi dimaksud. Pengobatan kombinasi merupakan penggunaan dua atau lebih obat antimalaria skizontosidal darah secara simultan dimana masing-masing obat mempunyai cara kerja yang independen dan mempunyai target biokimia yang berbeda pada parasit. Tujuan penggunaan obat antimalaria kombinasi untuk meningkatkan efikasi dari masing-masing obat antimalaria tersebut, meningkatkan angka kesembuhan, mempercepat respon pengobatan serta mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi terhadap obat tunggal.

Menurut WHO (2010), Artemisinin combination therapy (ACT) yang direkomendasikan WHO saat ini antara lain :

  1. Artemeter + lumenfantrin (20 mg artemeter dan 120 mg lumenfantrin/ Coartem®)
  2. Artesunat + amodiakuin (50 mg artesunat dan 150 mg amodiakuin dalam tablet terpisah/ A rtesdiaquine®, Arsuamoon®)
  3. Artesunat + meflokuin (50 mg artesunat dan 250 mg basa meflokuin dalam tablet terpisah)
  4. Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin (50 mg artesunat dan 500 mg sulfadoksin serta 25 mg pirimetamin dalam tablet terpisah/ Artescope®)
  5. Dihidroartemisinin + piperakuin (40 mg dihidroartemisinin dan 320 mg piperakuin dalam bentuk fixed dose combination)
  6. Artesunat + pironaridin
  7. Artesunat + klorproguanil-dapson (Lapdap plus®)
  8. Dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim (Artecom®)
  9. Dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim + primakuin (CV8)
  10. Dihidroartemisinin + naftokuin

Sementara Depkes RI, mulai merekomendasikan penggunaan ACT sebagai pengganti klorokuin untuk pengobatan malaria falciparum sejak tahun 2004, sedangkan untuk pengobatan malaria vivaks baru direkomendasikan untuk dilaksanakan pada tahun 2009.

Menurut Depkes RI (2008), obat yang digunakan saat ini untuk pengobatan malaria di Indonesia diantaranya adalah :

  1. Amodiakuin: Amodiakuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-aminokuinolin yang mempunyai struktur dan aktivitas yang sama dengan klorokuin. Obat ini mempunyai efek antipiretik dan anti inflamasi. Dosis obat untuk pengobatan malaria falciparum sama dengan dosis klorokuin
  2. Derivat Artemisinin (qinghousu): Menurut Gunawan (2009), Artemisinin merupakan obat antimalaria kelompok seskuiterpen lakton. Artemisinin dan derivatnya merupakan skizontosida darah yang sangat poten terhadap semua spesies Plasmodium, onset kerja sangat cepat dan dapat mematikan bentuk aseksual Plasmodium pada semua stadium dari bentuk ring muda sampai skizon. Artemisinin juga bersifat gametosida terhadap P. falciaparum termasuk stadium 4 gametosit yang biasanya hanya sensitif terhadap primakuin.  Derivat artemisinin bekerja dengan menghambat enzim yang berperan dalam masuknya kalsium ke dalam membran parasit yaitu enzim adenosin trifosfatase (PfATPase 6). Mekanisme kerja lain diduga melalui intervensi terhadap fungsi pelikel mitokondria, menghambat masuknya nutrisi ke dalam vakuola makanan parasit sehingga terjadi defisiensi asam amino disertai pembentukkan vakuola autofagik yang berlanjut dengan kematian parasit karena kehilangan sitoplasma.

Beberapa jenis derivat Artemisinin tersebut antara lain:

  • Artemisinin: Artemisinin bersifat insoluble (larut dalam air) dengan kadar puncak dalam plasma tercapai dalam 1-3 jam setelah pemberian per oral dan 11 jam setelah pemberian per rektal. Waktu paruh eliminasi sekitar 1 jam. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain gangguan pencernaan dan reaksi hipersensitivitas tipe I.
  • Artesunat: Artesunat merupakan bentuk garam sodium dari hemisuksinat ester artemisinin yang larut dalam air. Kadar puncak metabolit aktif dihidroartemisinin dalam plasma tercapai dalam 1,5 jam per oral, pada pemberian per rektal 2 jam dan injeksi 0,5 jam. Waktu paruh eliminasi sangat cepat sekitar 45 menit. Keunggulan artesunat adalah onset of action yang cepat, efektivitas tinggi, toksisitas rendah, larut dalam air.
  • Artemeter: Artemeter adalah bentuk metil eter dihidroartemisinin yang larut dalam lemak. Kadar puncak metabolit aktif dihidroartemisinin dalam plasma tercapai 2-3 jam setelah pemberian per oral, sedangkan pemberian intramuskular kadar puncak plasma biasanya 6 jam namun absorbsinya sering p elan dan tidak menentu sehingga kadar puncak baru tercapai setelah 18 jam atau lebih. Artemeter 95% terikat pada protein plasma dan waktu paruh eliminasi sekitar 1 jam, namun pada injeksi intramuskular dapat lebih lama karena absorpsinya yang berkelanjutan.
  • Dihidroartemisinin: Dihidroartemisinin adalah bentuk metabo lit aktif utama dari semua derivat artemisinin, namun dapat diberikan secara oral atau rektal dalam bentuk dihidroartemisinin sendiri. Dihidroartemisinin relatif tidak larut dalam air. Kadar puncak plasma pada pemberian per oral 2,5 jam dan pada pemberian per rektal 4 jam, 55% terikat pada protein plasma dan waktu paruh eliminasi 45 menit.
  • Artemotil: pada awalnya dikenal dengan nama arteeter, yaitu bentuk etil eter dari artemisinin, tidak larut dalam air dan hanya dapat diberikan secara injeksi intramuskular. Absorpsi artemotil lambat dan tidak menentu. Waktu paruh eliminasi sekitar 25-72 jam.
  • Asam artelinat: Obat ini tersedia dalam bentuk larutan yang lebih stabil dari pada artesunat untuk pemberian parenteral (intravena), namun saat ini masih dalam taraf penelitian.

3.    Piperakuin: Piperakuin merupakan skizontosida darah untuk P. falciparum. Tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral. Untuk meningkatkan efikasi piperakuin saat ini dikombinasikan dengan dihidroartemisinin dan trimetoprim dalam bentuk fixed dose combination piperakuin 320 mg dan dihidroartemisinin 40 mg.
4.    Terasiklin: Tetrasiklin adalah antibiotik yang bersifat skizontosida darah untuk semua spesies plasmodium dan skizontosida jaringan untuk P. falciaprum. Obat ini harus dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yang bekerja cepat dan menghasilkan efek potensiasi, misalnya kina. Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak di bawah 8 tahun karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi dan gangguan pertumbuhan gigi dan tulang.
5.    Doksisiklin: Doksisiklin adalah derivat tetrasiklin. Kelebihannya dari tetrasiklin adalah masa paruh yang lebih panjang, absorbsi yang lebih baik, lebih aman pada pasien dengan insufisiensi ginjal, dapat diberikan per oral maupun injeksi intravena.
Referrence, antara lain :

  • Depkes RI. 2007. Pedoman Penatalaksaan Kasus Malaria.
  • Depkes RI.  2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
  • Depkes RI. 2010. Pertemuan Koordinasi Tingkat SR Dan SSR Kegiatan Intensifikasi Pengendalian Malaria GF ATM Malaria Round 8 Wilayah Kalimantan Dan Sulawesi. Dirjen P2PL Depkes RI
  • Harijanto, P.N., 2009. Gejala Klinis Malaria ringan. Dalam Malaria dari Molekul ke Klinis. ECG. Jakarta.
  • Zein, U. 2005, Penanganan Terkini Malaria Falciparum. USU press.
  • WHO. 2010. Guidlines for The Treatment of Malaria.

Incoming Search Terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal