Public Health

Gejala dan Pencegahan Diare

Gambaran Klinis, Patogenesis dan Pencegahan Diare

Permasalahan diare tidak hanya mencakup angka kesakitan dan angka kematian yang ditimbulkan, tetapi juga potensi Kejadian Luar biasa (KLB) mungkin yang terjadi. Data angka kejadian diare nasional pada tahun 2006 sebesar 423 per seribu penduduk pada semua umur. Terdapat sebanyak 16 provinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52. Diare masih merupakan pembunuh nomor satu untuk kematian bayi di Indonesia dan menyumbang 42% dari penyebab kematian bayi usia 0 – 11 bulan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2010, di Indonesia, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Dampak buruk dari keadaan ini sangat dirasakan bagi kesehatan masyarakat maupun secara ekonomi. Sebagaimana hasil studi World Bank tahun 2007, kondisi ini berdampak kerugian secara ekonomi diperkirakan sebesar 2,3% dari Produk Domestik Bruto..
Mencegah Diare
Menurut Suharyono (1991), secara biokimiawi toksin yang dikeluarkan bakteri penyebab diare mengakibatkan terjadinya rangsangan pada adenilsiklase yang berada di dalam mukosa usus, sehingga berakibat pada pengeluaran cairan isotonik dan elektrolit di dalam lumen usus. Sementara menurut Sunoto, dkk (1990), diare yang disebabkan virus, mengakibatkan terjadinya invasi pada mukosa usus dan kerusakan pada sel vili, sehingga menimbulkan ketidakmampuan usus untuk menyerap cairan elektrolit. Kerusakan pada mukosa usus juga menyebabkan terjadinya intoleransi pada gula dan defisiensi enzim disakaridase. Diare kronis terjadi jika gangguan pada saluran pencernaan menyebabkan defisiensi enzim dan gagalnya proses absorbsi. Sedangkan diare berulang dapat memicu terjadinya malnutrisi protein (Suharyono, 1991). Defisiensi enzim dan kegagalan proses absorbsi menghambat proses regenerasi vili usus dan fungsi sekresi.

Diare yang disebabkan rotavirus, menyebabkan infeksi pada sel vili usus kecil, mukosa lambung, dan usus besar, yang berkembang di dalam sitoplasma sel usus serta merusak mekanisme pengangkutan nutrien. Kerusakan sel vili akan melemahkan proses absorbsi Natrium dan glukosa karena menghambat proses pematangan sel. Infeksi oleh rotavirus biasanya terjadi selama 2 – 12 hari, atau lebih lama jika ada gangguan nutrisi (Brooks, dkk., 2005).

Menurut Chin (2000), penegakan diagnosis klinis diare diidentifikasi dengan adanya perubahan frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja lembek atau cair. Gejala klinis yang menyertai diare adalah muntah, demam, dan dehidrasi. Sedangkan gejala sesuai faktor penyebab diare secara detail sebagai berikut :

  1. Diare disebabkan berbagai macam kuman patogen. Berdasar agent penyebab diare, gambaran klinis yang sering terjadi adalah :
  2. Diare penyebab rotavirus, masa inkubasi 1 — 7 hari dan gejala klinis muntah, diare, mual, demam, bahkan dehidrasi berat yang berakibat kematian, terutama pada anak-anak;
  3. Diare dengan penyebab Shigella, masa inkubasi 1 – 7 hari, gejala diare disertai lendir atau darah, sakit kepala, mual, muntah, demam, dan kejang;
  4. Diare penyebab salmonella, masa inkubasi 6 jam — 2 hari, gejala diare, mual, muntah, demam;
  5. Diare penyebab enteroinvasive Escherichia coli, dengan masa inkubasi 12 – 17 jam, gejala berdarah, berlendir, lemas, muntah, demam, dan mual;
  6. Diare penyebab Vibrio cholerae, masa inkubasi 6 jam – 5 hari, yang disertai gejala kram perut, dan muntah;
  7. Diare penyebab Entamoeba histolytica, masa inkubasi sekitar 2 – 4 minggu, dengan gejala diare disertai berdarah, berlendir, dan demam menggigil;
  8. Diare penyebab enterotoxigenic Escherichia coli, masa inkubasi 12 – 17 jam dan gejala klinis diare cair, muntah, dan kram perut. Menurut WHO, sifat patogenik bakteri ini menjadi penyebab terpenting terjadinya diare pada bayi, anak, dan orang dewasa, dengan perkiraan 280 juta episode kejadian serta lebih dari 400.000 kematian pada setiap tahunnya.

Pencegahan Diare
Usaha untuk menurunkan kejadian diare dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas air bersih dan sanitasi, mutu pelayanan kesehatan, serta meningkatkan pendapatan keluarga. Peningkatan pendidikan, terutama ibu, juga dapat mencegah terjadinya kesakitan dan kematian akibat diare, terutama pada balita. Penurunan mortalitas yang diakibatkan diare sering dikaitkan dengan perbaikan kualitas hidup, antara lain imunisasi, status gizi, akses ke tempat pelayanan kesehatan, dan cakupan pemanfaatan air bersih dan sistem pembuangan air limbah serta pemanfaatan terapi rehidrasi oral (Ferrer, dkk. 2008).

Hasil studi WHO tahun 2007,  memperlihatkan bahwa intervensi lingkungan melalui modifikasi lingkungan dapat menurunkan risiko penyakit diare sampai dengan 94%. Modifikasi lingkungan tersebut termasuk didalamnya penyediaan air bersih menurunkan risiko 25%, pemanfaatan jamban menurunkan risiko 32%, pengolahan air minum tingkat rumah tangga menurunkan risiko sebesar 39% dan cuci tangan pakai sabun menurunkan risiko sebesar 45%.

Menurut Sunoto, dkk. (1990), intervensi yang efektif dan mampu mencegah diare dapat dilakukan antara lain dengan:

  1. Memperbaiki makanan sapihan Perbaikan makanan sapihan dapat memperbaiki keadaan gizi anak, memperkuat daya tahan tubuh, mempersingkat lama paparan diare, dan mampu mengurangi angka kematian diare sebesar 2% – 12%;
  2. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sebelum memberi makanan pada anak serta sesudah buang air besar;
  3. Pemanfaatan air bersih. Diare sebagian besar ditularkan melalui faecal oral, maka diperlukan sarana penyediaan air bersih berkualitas dalam jumlah yang memadai;
  4. Penggunaan jamban sehat, dapat mencegah pencemaran pada sumber air bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi makanan oleh kuman patogen yang terdapat dalam tinja;
  5. Membuang tinja bayi dengan baik dan benar. Di dalam tinja terdapat kuman patogen penular diare, sehingga semua kotoran yang berasal dari anak-anak dan orang dewasa harus dibuang ke dalam jamban sehat;
  6. Imunisasi campak. Sekitar 1% – 7% kasus diare berhubungan dengan penyakit campak, terutama pada balita. Diare disertai penyakit campak, angka kematian dan tingkat keparahannya menjadi lebih tinggi;
  7. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada bayi selama berusia 6 bulan pertama. Pemberian ASI, tanpa penambahan makanan atau cairan lain, dapat mengurangi risiko bayi terpapar infeksi kuman patogen yang menyebabkan diare.

Refference, antara lain : Suharyono (1991), Diare Akut Klinik dan Laboratorik, Rineka Cipta; Sunoto, dkk. .1990. Buku Ajar Diare, Depkes Rl; Chin, J. 2000.  Manual Pemberantasan Penyakit Menular; Depkes RI. 2007. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare; Ferrer, SR., et all. 2008, A Hierarchical Model for Studying Risk Factors for Childhood Diarrhoea; Brooks, GF, et all. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika

Incoming Search Terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal