Public Health Update

Masalah Kesehatan Masyarakat Penyakit Kaki Gajah

Gejala Klinis, Cara Pencegahan dan Epidemiologi Filariasis

Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Penyakit menular ini bersifat menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Di Indonesia Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Provinsi. Berdasarkan laporan daerah dan hasil survai (Rapid Mapping) pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 6500 kasus kronis di 1553 desa 674 Puskesmas di 231 Kabupaten, 26 Provinsi. Sampai tahun 2004 kasus kronis yang dilaporkan sebanyak 8003 orang yang tersebar di 32 provinsi.

Hasil survai darah jari, dengan rentangan didapatkan prevalensi mikrofilaria (Mf rate) berkisar antara 0,5 – 27,6%. Tingkat penularan penyakit filariasis di Indonesia masih tinggi. Diperkirakan sekitar 10 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 60 juta orang mempunyai risiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas.

Untuk pemberantasan penyakit ini sampai tuntas, WHO sudah menetapkan kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal DEC dan Albendazol setahun sekali selama minimal 5 tahun di daerah endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitaannya.

Sedangkan menurut Depkes RI (2000) Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis (Mf rate > 1 %) dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam, diberikan Paracetamol. Pengobatan massal diikuti seluruh penduduk di daerah endemis yang berusia 2 tahun ke atas. Pengobatan ditunda pada orang yang sakit, anak di bawah usia 2 tahun, dan wanita hamil.

Epidemiologi Penyakit kaki GajahFilariasis terutama ditemukan di daerah dataran rendah mencakup daerah perkotaan dan pedesaan, di daerah pantai, pedalaman, daerah rawa, persawahan dan hutan. Secara epidemiologis dapat dikatakan bahwa filariasis melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks yaitu cacing filaria sebagai agen penyakit, manusia sebagai inang dan nyamuk dewasa sebagai vektor serta faktor lingkungan fisik, biologik dan sosial, yaitu faktor sosial ekonomi dan perilaku penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk menekan angka mikrofilaria perlu mempertimbangkan aspek epidemiologi.

Filariasis malayi merupakan penyakit zoonosis yang dapat menginfeksi hewan selain manusia yaitu: kera (Macaca fascicularis), lutung (Presbythis cristatus) dan kucing (Felis catus). Ketiga hewan itu merupakan hospes reservoar yang berperan dalam penularan filariasis. Vektor filariasis malayi adalah nyamuk Mansonia dan Anopheles.

Di Indonesia filariasis tersebar luas, daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki. Survei prevalensi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1999 menunjukkan bahwa tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survey darah jari masih tinggi dengan mikrofilaria rate 3,1 % (0,5%- 19,46%). Berdasarkan survei darah jari pada desa dengan jumlah penderita terbanyak pada tahun 2002-2005, terutama di Sumatera dan Kalimantan, telah terindentifikasi 84 kabupaten/kota dengan mikrofilaria rate 1% atau lebih.

Eliminasi filariasis secara umum bertujuan agar filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Tujuan khususnya adalah : menurunnya angka mikrofilaria (Microfilaria rate) menjadi kurang dari 1%, disetiap kabupaten/kota, mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.

Gejala klinis filariasis malayi sama dengan gejala klinis filariasis timori. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering terjadi timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retro grad. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gej ala limfadema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus.

Limfadenitis dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya. Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena, berbeda dengan filariasis bancrofti. Pada filariasis brugia, elefantiasis hanya mengenai tungkai bawah, di bawah lutut, atau kadangkadang lengan bawah di bawah siku.
Sedangkan menurut Depkes RI (2000) gejala dan tanda klinis akut filariasis antara lain :

  • Demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
  • Pembengkakkan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
  • Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan.
  • Abses filarial terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
  • Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (limfedema dini).

Sedangkan gejala dan tanda klinis kronis antara lain terjadi pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
Di daerah-daerah endemik, 80% penduduk bisa mengalami infeksi tetapi hanya sekitar 10-20% populasi yang menunjukkan gejala klinis. Masyarakat yang beresiko terserang adalah mereka yang bekerja pada daerah yang terkena paparan menahun oleh nyamuk yang mengandung larva.
Upaya Pencegahan Filariasis
Upaya pencegahan Filariasis oleh masyarakat dengan:

  1. Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor, antara lain dilakukan dengan Menggunakan kelambu sewaktu tidur;  Menutup ventilasi rumah dengan kawat kasa nyamuk; Menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar;  Mengoles kulit dengan obat anti nyamuk.
  2. Memberantas nyamuk, dengan cara  antara lain : Membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk; Menimbun, mengeringkan, atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk; dan Membersihkan semak-semak di sekitar rumah;

Sedangkan Penatalaksanaan Kasus dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  1. Dilakukan pada semua kasus klinis baik di daerah endemis rnaupun di luar daerah endemis.
  2. Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari untuk pengobatan individual.
  3. Semua kasus klinis ditatalaksana dengan 5 komponen dasar, yaitu : Pencucian, Pengobatan dan Perawatan Luka, Melatih otot-otot (exercise), Meninggikan bagian yang bengkak (Elevasi), Memakai alas kaki yang nyaman.

Aspek  Lingkungan Filariasis

Menurut Depkes RI (2008), faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Daerah endemis brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air. Sedangkan daerah-daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor. Sedangkan daerah endemis W. ban crofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat berkembang biak dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.
Referensi, antara lain : Mengenal Filariasis (Penyakit kaki gajah), Dirjend P2PL Depkes RI. 2000; Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Penerbir Erlangga. Jakarta; Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia Ditjen PP & PL Depkes RI;  Supali, T. dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal