Imunisasi Rutin

ORI dan Upaya Menutup Gap Imunisasi Rutin

KLB, Over Diagnosis, dan Suspek Difteri

Sebagaimana kita ketahui, tahun 2018 ini, beberapa propinsi mengalami Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (KLB PD3I), terutama difteri. Suspek difteri mengalami lonjakan jumlah, dari segala aspek, berdasarkan periode yang sama tahun lalu, luas penyebaran, rentang usia, maupun aspek lainnya.

Begitu melimpahnya suspek difteri, banyak pihak mulai khawatir, terutama karena non teknis, karena politis misalnya. Banyak pihak mulai membaca kembali juknis, mempelajari SOP, memelototi mekanisme penentuan suspek yang paling update. Sebagian pelaku dan praktisi survailans seakan kurang percaya pada booming nya suspek difteri akhir-akhir ini. Sebagian berharap, misalnya ada celah elegan menurunkan kuantitas poin atau kualitas standar kriteria, dan berharap jumlah suspek tidak sebanyak ini.

Dan khabar buruknya, bagan mekanisme penanggulangan KLB difteri dari berbagai versi, dari yang beta sampai yang current, dari versi WHO, Kemenkes, komite ahli, dewan pakar, atau versi lainnya, semua memang mendukung aklamasi pada peningkatan signifikan jumlah suspek difteri saat ini. Tentu beberapa klausul SOP bisa ditawar, namun sangat kurang sahih untuk mendukung penurunan jumlah suspek. Suspek tetap tinggi.

Over Diagnosis dan CFR

Menurut bude Jamilah, praktisi surveilans dari ujung terpencil sebuah kota kecil diselatan Jatim ini, poin semangatnya bukan pada jumlah suspek, namun pada keberhasilan menemukan secara dini suspek, lalu mengobatinya, kemudian melacaknya, dan mengendalikannya agar tidak semburat menular ke sekelilingnya. Berapapun jumlahnya, beliau akan segera laporkan lengkap dengan persyaratan lampirannya.

Sebuah terobosan inovatif mekanisme screening suspek difteri dilakukan di provinsi ini. Sebuah mekanisme dengan optimalisasi aplikasi mobile dan medsos. Suspek dikonsultasikan kepada tim ahli provinsi, dilengkapi detail form pelacakan lengkap (usia, status imunisasi, riwayat kontak dengan penderita difteri, tanda gejala, dan lainnya). Yang membedakan dengan mekanisme selama ini, laporan dilengkapi dengan foto pseudo membrane suspek. Dikirmkan via medsos, dievaluasi para expert berkompeten. Kemudian dikeluarkan saran rekomendasi. Simpel, di ery (erytromicin) atau ADS (anti difteri serum).

Mekanisme tersebut cukup aplikabel, efektif, efisien. Ratusan ADS yang tidak perlu tidak terdistribusi. Ratusan suspek sembuh. Jutaan dana dapat dihemat. Bude tidak perduli seberapa banyak suspek yang dilaporkan. Mengapa? Karena Bude Jamilah selalu dihantui oleh rasa bersalah jika tidak segera bergerak dan bertindak untuk mencegah penyebaran sebuah penyakit PD3I. Karena kecepatan penularan penyakit ini tidak dapat dipandang remeh. Semua potensi meski dikelola dengan benar untuk memastiakan semua dapat bergerak cepat dan terukur untuk menghentikan penyebaran.

Proses diagnosis penyakit selalu merupakan tahap penting tersendiri, sebelum intervensi dan tindakan lainnya. Bude selalu mafhum soal itu. Apalagi mendiagnosis PD3I dengan kekawatiran mendalam soal kecepatan penularannya. Misalnya selalu yang diingat beliau dari nara sumber favorit bude (DR. Domi), bahwa setidaknya terdapat 10 pembanding diagnosis difteri, sementara terdapat 300-an pembanding pada demam campak. Dan faktanya kita selalu mengalami peningkatan kasus sejak tahun 2011. Fakta juga menginformasikan, Case Fatality Rate difteri cukup rendah (3.3%). Lalu mengapa kita sewot dengan suspek?

‌Dengan melihat CFR diatas, bude yakin selama ini kita sudah benar. Hiruk pikuk over diagnosis (?) menjadi sangat sepadan. Sebagaimana juga mekanisme pemberian ADS (Anti Difteri Serum) pada suspek. Data memperlihatkan kepada kita, jika ADS tidak dikendalikan, maka 70 % suspek bukan difteri sangat berpotensi akan mendapatkannya. Filosofinya : Tidak mungkin menemukan campak tanpa mencari demam bercak merah, tidak mungkin menemukan polio tanpa mencari anak lumpuh layuh mendadak, dan tidak mungkin menemukan difteri tanpa mencari bercak putih pseudo membrane (DR. Domi)

ORI dan Gap Imunisasi Rutin

Demikian besarnya upaya yang harus diniatkan untuk menghentikan sebuah KLB (difteri). Oubreak Response Immunization (ORI) sedemikian menyita banyak waktu, menguras tenaga, dana, dan menyingkirkan banyak kegiatan lain untuk dinomor duakan. Menjadi kurang keren, karena ORI harus 3 kali. Bude Jamillah sangat bisa merasakan, bagaimana pontang panting teman-teman bude ditingkat pelaksana harus meyakinkan sasaran. Bagaimana sasaran, ibu-ibu dan orang tua,  harus mempunyai keyakinan besar untuk selalu membawa anaknya (usia 1 s/d 19 tahun), 3 kali, untuk disuntik, lengkap dengan efek simpang dan keluh kesah mereka pasca diimunisasi. Walaupun memang belum ada upaya se-rasional ORI dan imunisasi untuk segera menghentikan wabah ini.

Mengingat sifat ORI yang “ad hoc”, bude berasumsi, sesungguhnya kelompok usia Posyandu merupakan baseline data penting sasaran ORI. Meraka harus dikejar dengan segenap upaya, mengingat mereka diujungnya nanti juga sasaran imunisasi booster, imunisasi anak sekolah, dan lainnya. Juga karena pada akhirnya, bahwa salah satu kunci keberhasilan ORI pada validitas sasaran, dan tidak melulu soal persentase cakupan.

Lebih kurang keren, karena ORI baru dapat dievaluasi setelah anak di suntik yang ke 3 kali. Artinya harus menunggu 1 tahun. Artinya selama waktu itu akan masih banyak suspek difteri bermunculan. Dan pertanyaan selalu akan muncul, mengapa sudah diimunisasi masih banyak suspek difteri. Mengapa anak kami masih tertular difteri, padahal sudah diimunisasi 2 kali ? Dan banyak pertanyaan lainnya.

Banyak diantara kita lupa, bahwa pasca diimunisasi difteri untuk pertama kali (dalam ORI) titer antibody yang terbentuk baru sekitar 0,1 iU/mL, imunisasi kedua 0.2 iU/mL, setelah yang ke 3 baru meningkat signifikan menjadi 1,5 iU/mL. Menjadi tidak bijaksana ketika harus gelisah karena suspek belum turun pasca ORI ke 1 atau ke 2.

Karakteristik vaksin difteri, misalnya vaksin DT maupun td, sebagai jenis vaksin paling lemah. ‌Kata ahli, komponen vaksin difteri dikenal paling lemah, tidak tahan lama Tidak seperti vaksin Measles Rubela (MR), dimana anak cukup diimunisasi sekali untuk terbentuk kekebalan panjang, atau dua kali untuk bertahan kebal seumur hidup. Imunisasi difteri harus dulang minimal 7 kali. Dan itupun belum menjamin secara imunologi untuk terbebas dari penularan penyakit ini.

Bude Jamillah kadang lupa pada filosofi profilaksis. Pada satu sisi, beliau paham, SOP mensyaratkan setiap kontak erat suspek harus diberikan antibiotik (misal eritromicyn). Kontak erat yang luas, taman dekat, tetangga, sanak saudara, teman sekolah, guru, dan seterusnya. Yang bude kurang “klik” adalah faktor drop out profillaksis ini. Beberapa estimasi (Kemenkes?) menyebut kegagalan profillaksis luas dan berkesinambungan menjadi faktor penting tidak segera dapat dihentikannya KLB. Disamping tentu cakupan dan kualitas ORI.

Pada akhirnya bude menyadari, evaluasi luas profilaksis harus dilakukan. Memastikan 7 hari antibiotik konsisten dilakukan. Memastikan kontak erat meminumnya. Setiap hari, sampai batas aturan minum itu terlampaui. Ada atau tidak ada efek samping, mual atau lainnya. Karena hanya dengan begitu, penularan dapat diminimalisasi. Dapat segera dihentikan.

‌Pada Akhirnya Imunisasi Rutin Jawabannya

Bude selalu yakin, di planet bumi, tidak terdapat satu negara-pun yang tidak melaksanakan program imunisasi pada warganya. Tidak satupun. Karena imunisasi satu-satunya program yang diakui paling cost efektif dalam mencegah penyakit menular. Bahkan mengeliminasinya, hampir sampai ke akar-akarnya. Sebut saja cacar, polio.

Hampir seluruh kaidah teori vaksikologi, imunologi, data dan referensi ilmiah setuju pada satu hal. Bahwa imunisasi akan cost effective jika tercapai target minimal. Disana berjejer berbagai target kinerja. Beberapa dapat disebutkan : Imunisasi HB0, BCG, DPT-Hb-Hib, MR, Polio, IPV,  dan tentu diujungnya Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) dan Universal Child Immunization (UCI).

Khabar buruknya, report cakupan imunisasi kita cenderung konsisten over reported.‌ Setali tiga uang, trend suspek PD3I (baca difteri) selalu merangkak naik. Tahun demi tahun. Konsisten.

Ada apa dengan imunisasi kita?

Bude Jamilah jadi mengingat era dulu, ketika kebijakan terpusat melahirkan jargon pertembuhan ekonomi, bapak pembangunan, dan booming istilah lainnya. Bude sayup mengingat lagu anak “Aku Anak Sehat”. Lagu ciptaan AT. Mahmud ini menancap dibenak masyarakat dengan lirik dan diksi program pembangunan kesehatan yang menyentuh masyarakat : Aku anak sehat; Tubuhku kuat; Karena ibuku; Rajin dan cermat; Semasa aku bayi. Selalu di beri ASI; Makanan bergizi; Dan imunisasi.

Bude ingat, ketika itu seluruh potensi negara ikut bergerak. Entah itu bernama lintas sektor, berbagai sektor, sektor kanan kiri, depan belakang. Berbagai lintas program, program selevel, sejajar, diatas atau di bawah. Dari pusat, provinsi, kabupaten kota, kecamatan, desa, satu suara. Saat itu cakupan imunisasi rutin sedemikian keren. Sementara saat ini, era otonomi  daerah, sehebat apapun perencanaan dan konsep pendekatan kesehatan yang diramu,  masih akan sangat tergantung pada komitmen kepala daerah. Belum lagi era medsos dengan segala asesories upload, share, dan hoax, menjadikan imunisasi terengah-engah mencoba menemukan bentuk kemesraan  dengan masyarakat (JRenk).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal