Pengolahan Limbah Tapioka
Pengolahan Limbah Padat Tapioka
Secara umum, pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber, penggunaan kembali, pemanfaatan, pengolahan, dan pembuangan. Banyak jenis limbah dapat dimanfaatkan kembali melalui daur ulang atau dikonversikan ke produk lain yang berguna. Pada dasarnya limbah dapat mengalami perubahan secara biologis sehingga dapat dikonversikan ke produk lain seperti energi, pangan, pakan, pupuk organik, dan lain-lain. Limbah yang dapat dikonversikan ke produk lain, misalnya limbah dari industri pangan. Limbah tersebut biasanya masih mengandung serat, karbohidrat, protein, lemak, asam organik, dan mineral (Retnaningtyas, 2004).
Proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka akan menghasilkan limbah 2/3 sampai 3/4 dari bahan mentahnya (Amri, 1998). Limbah tepung tapioka terdiri atas limbah padat yang biasa disebut onggok dan limbah cair. Limbah padat berupa kulit dan ampas. Kulit diperoleh dari proses pengupasan, sedangkan ampas yang berupa serat dan pati diperoleh dari proses penyaringan.
Limbah cair industri tapioka dihasilkan selama proses pembuatan, mulai dari pencucian sampai proses pengendapan. Apabila limbah industri tapioka tidak diolah dengan baik dan benar dapat menimbulkan berbagai masalah, diantaranya penyakit gatal-gatal, batuk dan sesak nafas; timbul bau yang tidak sedap; mencemari perairan tambak sehingga ikan mati; perubahan kondisi sungai karena proses pencemaran (Wahyuadi, 1996).
Limbah padat tapioka yang dihasilkan dari pengolahan ubi kayu merupakan suatu media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme karena memiliki keseimbangan bahan-bahan organik dan anorganik di dalamnya yang merupakan nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), limbah padat tapioka juga tidak mengandung bahan-bahan beracun bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan jasad renik.
Terdapat beberapa alternatif yang dapat diterapkan, untuk melakukan pengolahan limbah padat tapioka ini, seperti teknik biofertilizer dan pengomposan. Teknik biofertilizer dapat dilakukan dengan cara menambahkan Biolink-5. Biolink-5 merupakan kumpulan dari lima macam mikrorganisme yang berperan dalam pendegradasian bahan organik, yaitu Bakteri Bacillus thuringiensis, Bacillus subtilis, Bacillus megaterium, Lactobacillus plantarum, dan Khamir Saccharomices cerevisiae. Dengan pemanfaatan ini, limbah padat tapioka dapat diubah menjadi produk yang memiliki nilai manfaat dan ekonomis.
Teknik lain yang dapat dipilih dengan teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah yang sederhana, murah dan effektif adalah pengomposan. Menurut Slamet (2000), pengomposan adalah suatu cara untuk mengkonversikan bahan-bahan organik menjadi bahan yang telah dirombak lebih sederhana dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme. Proses pengomposan secara alami berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu 2 – 3 bulan, bahkan 6 – 12 bulan tergantung dari bahannya. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan bantuan penambahan inokulan, sumber nitrogen, dan air.
Pembuatan biofertilizer dari limbah padat tapioka dengan penambahan Biolink-5 yang tepat serta penentuan waktu pengomposan yang benar diharapkan dapat merubah karakteristik limbah padat tapioka yaitu dengan adanya penurunan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah yaitu ‹ 20 sehingga dapat digunakan sebagai biofertilizer yang dapat diserap oleh tanaman
Komponen besar lainnya dari pengolahan tapioka adalah keberadaan kulit singkong. Pada dasarnya hampir semua bagian dari pohon singkong bisa dimanfaatkan mulai dari umbi hingga daunnya. Umbi Singkong biasanya hanya diambil dagingnya dan untuk digoreng atau direbus. Sedangkan kulitnya dibuang begitu saja atau di jadikan makanan untuk hewan ternak. Kulit singkong selama ini memang sering disepelekan dan dianggap sebagai limbah dari tanaman singkong. Padahal, kulit singkong ini memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yang dapat dikonsumsi pula oleh manusia. Presentase jumlah limbah kulit bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit bagian dalam sebesar 8-15%. Selain itu, kulit singkong juga terdiri dari bahan karbon sebesar 59,31% sehingga dapat dimanfaatkan sebagai karbon aktif.
Kulit singkong mempunyai komposisi yang terdiri dari karbohidrat dan serat. Menurut Djaeni (1989), kulit singkong mengandung ikatan glikosida sianogenik yaitu suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun dalam jumlah 0.1% yang dikenal sebagai racun biru (linamarin). Oleh karena itu, pemanfaatan kulit singkong belum terlalu luas. Namun sebenarnya racun tersebut dapat dihilangkan dengan cara menguapkannya atau mengeringkannya pada suhu tinggi dan jika diolah menjadi karbon aktif racun biru tersebut akan hilang.
Sampah kulit singkong termasuk dalam kategori sampah organik karena sampah ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Pengolahan limbah kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai:
- Kompos : Kulit singkong dapat diproses menjadi pupuk organik yang kemudian disebut sebagi pupuk kompos. Kompos kulit singkong bermanfaat sebagai sumber nutrisi bagi tumbuhan dan berpotensi sebagai insektisida tumbuhan.
- Pakan ternak : Kulit singkong sebagai pengganti rumput lapang. Karena kulit singkong yang mengandung karbohidrat tinggi dapat dengan cepat menggemukkan hewan ternak.
- Bio energi : Kulit singkong bisa berpotensi untuk diproduksi menjadi bietanol yang digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak. Teknologi pembuatan bioetanol dari limbah kulit singkong melalui proses hidrolisa asam dan enzimatis merupakan suatu alternatif dalam rangka mendukung program pemerintah tentang penyediaan bahan bakar non migas yang terbarukan yaitu BB ( bahan bakar nabati ) sebagai pengganti bensin.
- Sebagai karbon aktif