Public Health

Sick Building Syndrome

Pengertian, Penyebab, dan Gejala Sick Building Syndrome

Istilah sindrom gedung sakit (Sick Building Syndrome) pertama dikenalkan oleh para ahli di negara Skandinavia di awal tahun 1980-an. Istilah SBS dikenal juga dengan TBS (Tight Building Syndrome) atau Nonspecific Building-Related Symptoms (BRS), karena sindrom ini umumnya dijumpai dalam ruangan gedung-gedung pencakar langit (Dickerson and Zenz, 1988).

Menurut Sunu (2001), polutan udara dapat menjadi sumber penyakit virus, bakteri dan beberapa jenis cacing. Dampak yang diakibatkan oleh polutan udara yang buruk dapat mengakibatkan seseorang menjadi alergi yang selanjutnya menjadi pintu masuk bagi bakteri yang dapat berpotensi terjadinya infeksi. Gangguan-gangguan tidak spesifik tetapi khas yang diderita individu atau manusia selama berada di dalam gedung tertentu dikenal dengan istilah Sick Building Syndrome (SBS).
Sick Building Syndrome
Berdasarkan penelitian NIOSH pada kurun waktu tahun 1978 s/d 1988, diperoleh hasil adanya karakteristik kualitas udara yang buruk pada gedung-gedung. Selanjutnya EPA mendefinisikan syndrome gedung sakit merupakan istilah untuk menguraikan situasi dimana penghuni gedung atau bangunan mengalami gangguan kesehatan akut dan efek timbul saat berada dalam bangunan, tetapi tidak ada penyebab yang spesifik.

Istilah Sick Building Syndrome (SBS) menurut Aditama (2002), mempunyai maksud yaitu:

  1. Kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaan-perasaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu, dan
  2. Kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikatakan gedung yang sakit.

Menurut Hedge (2003), SBS merupakan kategori penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan sistem ventilasi. Sementara menurut Soemirat, SBS merupakan gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan. Sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau di rumah yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik. Kita mengenal salah satu peraturan yang mengatur kondisi kualitas udara ini, terkait dengan kualitas udara rumah sakit, dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1204/ MENKES/ SK/ X/ 2004 tentang kesehatan lingkungan rumah sakit.

Gejala Sick Building Syndrome
Menurut Achmadi, seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome jika  memiliki keluhan sekumpulan gejala seperti lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang, pegal-pegal, sakit leher atau punggung, dalam kurun waktu bersamaan. Untuk menegakkan Sick Building Syndrome maka berbagai keluhan tersebut harus dirasakan oleh sekitar 20% – 50% pengguna suatu gedung, dan keluhan¬-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu.

Sementara menurut EPA (1998), pada umumnya gejala dan gangguan Sick Building Syndrome berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi menunjukkan pada standar tertentu, misal berapa kali seseorang dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya dirasakan pada saat bekerja di gedung dan menghilang secara wajar pada akhir minggu atau hari libur, keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang mampu dalam mengubah situasi pekerjaannya. Keluhan Sick Building Syndrome, antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau dengan gej ala yang tidak dikenali dan kebanyakan keluhan akan hilang setelah meninggalkan gedung.

Beberapa keluhan atau gejala Sick Building Syndrome menurut Aditama (2002), terbagi dalam tujuh kategori antara lain:

  1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair
  2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering
  3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi
  4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada
  5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal
  6. Gangguan saluran cerna, seperti diare
  7. Gangguan lain seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll.

Penyebab Sick Building Syndrome

Berbagai bahan pencemar (kontaminan) yang terdapat di lingkungan udara dalam gedung (indoor air environment) dapat menimbulkan gangguan melalui empat mekanisme utama, yaitu Menurut Aditama (2002),:

  1. Gangguan sistem kekebalan tubuh (imunologik)
  2. Terjadinya infeksi
  3. Bahan pencemar yang bersifat racun (toksik)
  4. Bahan pencemar yang mengiritasi dan menimbulkan gangguan kesehatan

Biasanya sulit menemukan penyebab tunggal dari Sick Building Syndrom atau SBS. Menurut Depkes RI (1990), gangguan sistem kekebalan tubuh dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi. Konsumsi zat gizi yang baik akan memperbaiki status gizi, sehingga meningkatkan ketahanan fisik dan meningkatkan produktivitas kerja, di samping membantu mengurangi infeksi.

Menurut London Hazards Centre, penyebab utama Sick Building Syndrome adalah bahan kimia yang digunakan manusia, jamur pada sirkulasi udara serta faktor fisik seperti kelembaban, suhu dan aliran udara dalam ruangan, sehingga semakin lama orang tinggal dalam sebuah gedung yang tidak memenuhi syarat akan mudah menderita Sick Building Syndrome.

Sedangkan penyebab Sick Building Syndrome menurut EPA (1998), sebagai berikut :

  1. Ventilasi Tidak Cukup: Standar ventilasi pada sebuah gedung yaitu kira-kira 15 kaki berbentuk kubus sehingga udara luar dapat masuk dan menyegarkan penghuni di dalamnya tidak semata-mata untuk melemahkan dan memindahkan bau. Dengan ventilasi yang tidak cukup, maka proses pengaturan suhu tidak secara efektif mendistribusikan udara pada penghuni ruangan sehingga menjadi faktor pemicu timbulnya SBS.
  2. Zat Pencemar Kimia Bersumber Dari Dalam Ruangan: Polusi udara dalam ruangan bersumber dari dalam ruangan itu sendiri, seperti bahan pembersih karpet, mesin foto kopi, tembakau dan termasuk formaldehid.
  3. Zat Pencemar Kimia Bersumber Dari Luar Gedung: Udara luar yang masuk pada suatu bangunan bisa merupakan suatu sumber polusi udara dalam gedung, seperti pengotor dari kendaraan bermotor, pipa ledeng lubang angin dan semua bentuk partikel baik padat maupun cair yang dapat masuk melalui lubang angin atau jendela dekat sumber polutan. Bahan-bahan polutan yang mungkin ada dalam ruangan dapat berupa gas karbon monoksida, nitrogen dioksida dan berbagai bahan organik lainnya bersumber dari luar gedung. Karbon monoksida dapat timbal pada berbagai proses pembakaran, seperti pemanas ruangan. Gas CO juga dapat masuk ke dalam ruangan melalui asap mobil dan kendaraan lain yang lalu lalang di luar suatu gedung. Kadar CO yang tinggi akan berakibat buruk pada jantung dan otak. Nitrogen oksida juga dapat keluar pada proses memasak dengan kompor gas. Gas ini dapat menimbulkan kerusakan di saluran nafas di dalam paru.
  4. Zat Pencemar Biologi: Bakteri, virus dan jamur adalah jenis pencemar biologi yang berkumpul di dalam pipa saluran udara dan alat pelembab udara serta berasal dari alat pembersih karpet. Mikroorganisme yang berasal dari dalam ruangan misalnya bakteri dan jamur.

Refferecee, antara lain:
Aditama Y.C dan Hastuti, T., 2002.Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. UI. Jakarta; Environmental Protection Agency US (EPA), 1998, Indoor Air Facts No.4 (Revised): “Sick Building Syndrome (SBS); Sunu, P., 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. PT. Grasindo; London Hazards Centre, 1990. Sick Building Syndrome: Causes, Effects and Control; Dickerson, O., Bruce and Zenz, C., 1988. Occupational Medicine

Incoming Search Terms:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal