Faktor Risiko Leptospirosis
Faktor Lingkungan dan individu sebagai Faktor resiko Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang patogen, menyerang hewan dan manusia. Sebagaimana kita ketahui penyakit zoonotik merupakan penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Menurut Chin (2008), di Indonesia terdapat terdapat sekitar 50 zoonosis, seperti rabies, pes, antraks, taeniasis/cysticercosis, Japanese encephalitis, leptospirosis, toxoplasmosis dan schistosomiasis. Manifestasi klinis penyakit leptospirosis sangat bervariasi, dengan ciri-ciri umum seperti demam dengan serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, mialgia berat (betis dan kaki) dan merah pada conjunctiva. Manifestasi lain yang mungkin muncul adalah demam diphasic, rash, anemia, perdarahan dalam kulit dan selaput lendir, gangguan mental dan depresi, myocarditis dan radang paru-paru
Menurut WHO (2003), leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis. Berdasarkan cara transmisinya, leptospirosis merupakan salah satu direct zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit ini bisa berkembang di alam pada hewan baik liar maupun domestik dan manusia merupakan infeksi terminal.
Leptospira di dalam tubuh tikus dapat bertahan selama hewan tersebut hidup tanpa menyebabkan sakit. Sementara Leptospira akan dikeluarkan melalui urin dan mencemari Iingkungan. Menurut Nazir (2002), manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari hanya seperti flu biasa sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai kegagalan bernafas. Gejala klinis lepstospirosis juga menyerupai beberapa penyakit lainnya, seperti penyakit demam dengue, thypus, malaria, influensa dan sebagainya. Penyakit ini pada manusia beragam, mulai subklinis, dengan gejala akut sampai yang mematikan. Gejala klinisnya sangat beragam dan non spesifik. Gejala yang umum adalah demam, sakit kepala, mual-mual, nyeri otot, muntah. Kadang terjadi konjungtivitis, ikterus, anemia, dan gagal ginjal.
Menurut Hadisaputro (2002), penelitian mengenai faktor risiko leptospirosis dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola penularan penyakit leptospirosis. Berdasarkan penelitian ini, terdapat beberapa faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan kejadian leptospirosis adalah personal hygiene, seperti kebiasaan mandi, riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, pekerjaan, sosial ekonomi, dan banyaknya populasi tikus dalam rumah. Variabel higiene perorangan, kebiasaan mandi, riwayat adanya luka, dan aliran air dalam selokan secara bersamaan merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.
Penelitian Soares et al., (2010) menunjukkan adanya korelasi positif antara karakteristik individu yaitu tingkat ekonomi dengan kejadian leptospirosis. Peningkatan kasus sebagian besar terjadi pada penduduk miskin yang tinggal di daerah pemukiman kumuh, kondisi sanitasi yang buruk (karena tingkat ekonomi rendah), sebagai sumber penularan leptospirosis.
Beberapa faktor determinan kasus leptospirosis (Barcellos and Sabroza, 2001), diantaranya kegiatan mandi dan mencuci di sungai yang mengandung leptospira, penjagaan sanitasi rumah dan pengelolaan sampah yang menjadikan tempat disenangi tikus. Perilaku menjaga hewan peliharaan di rumah juga berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis.
Menurut Soedin (1997), karakteristik individu lain yang dapat dihubungan dengan kejadian leptospirosis adalah jenis kelamin dan umur. Sebagian besar penyakit ini mengenai laki-laki dewasa muda. Faktor risiko jenis kelamin dan umur tersebut sering dihubungkan dengan jenis pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Hal ini sesuai dengan WHO (2006), diamana dinyatakan walaupun jenis kelamin tidak memberikan perbedaan tingkat kerentanan seseorang terhadap infeksi leptospirosis, namun penderita laki-laki cenderung lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena risiko paparan oleh hewan infektif dan lingkungan yang terkontaminasi lebih besar pada laki-laki berkaitan dengan pekerjaanya.
Menurut Depkes RI (2008), faktor pekerjaan merupakan faktor risiko yang cukup penting pada manusia, riwayat kontak dengan hewan yang terinfeksi di pertanian, peternakan, tempat pemotongan hewan, pengawasan hewan pengerat, dan pekerjaan lain yang memungkinkan kontak dengan hewan. Menurut Zein (2009), pengawasan penyebaran leptospirosis dilaksanakan dengan cara mencegah hubungan dengan air yang kemungkinan besar terkontaminasi dan mengurangi kontak dengan hewan pengerat.
Beberapa faktor risiko penularan leptospirosis sebagai berikut (Zein, 2009).
Sedangkan faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis antara lain kondisi lingkungan perumahan atau tempat kerja serta sanitasi rumah. Beberapa faktor risiko penularan leptospirosis dari aspek ini diantaranya keberadaan saluran pembuangan air limbah yang terbuka, keberadaan tikus disekitar tempat tinggal dan lingkungan tempat kerja. Menurut Handayani dan Ristiyanto (2008), sanitasi rumah merupakan faktor risiko leptospirosis, kondisi rumah yang tidak memiliki plafon dan kondisi bangunan yang tidak utuh memudahkan tikus masuk ke dalam rumah, dinding rumah yang tidak permanen memudahkan tikus memanjat. Keberadaan sampah disekitar rumah juga menjadikan populasi tikus di sekitar rumah meningkat.
Refference, antara lain : Depkes RI. 2008. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Penanggulangan kasus Leptopsirosis di Indonesia; Depkes RI. 2009. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2008; Chin, J., 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular; Soares, T. S. M.,et all. 2010. Spatial and seasonal analysis on leptospirosis in the municipality of São Paulo; Soedin. 1997. Leptospirosis dalam Ilmu Penyakit Dalam; WHO. 2003. Human Leptosirosis Guidance For Diagnosis, Surveillance And Control; Nazir, H. 2002. Leptospirosis (Gambaran Klinis), RSUD Tarakan Jakarta; Zein. 2009. Leptospirosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Handayani, F., Ristiyanto. 2005. Rapid Assessment Inang Reservoir Leptospirosis di Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.