Public Health

Epidemiologi Schistosomiasis

Epidemiologi  Schistosomiasis di Indonesia

Schistosomiasis adalah penyakit parasit kronis yang menginfeksi  lebih dari 200 juta orang di 74 negara di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, menyebabkan sekitar 20.000 kematian per tahun. Schistosomes juga penyakit patogen penting bagi beberapa spesies hewan domestik dan menyebabkan kerugian ekonomi di daerah endemik. Penyakit ini terkait dengan produksi harian telur oleh cacing dewasa. Telur cacing yang berada dalam tubuh disimpan ke dalam hati, usus, dan saluran genitourinari, di mana mereka merangsang reaksi inflamasi yang kuat dan pembentukan granuloma yang akhirnya menyebabkan kematian (Wang, X et al, 2008).

Diperkirakan jumlah penderita schistosomiasis di seluruh dunia mencapai 200 juta, sementara 600 juta lainya termasuk katagori beresiko oleh penyakit ini (Sudomo, 2008). Sebagaimana kita ketahui schistosomiasis merupakan infeksi yang disebabkan cacing cacing pita, yang seringkali menyebabkan ruam, demam, panas-dingin, dan nyeri otot dan kadangkala menyebabkan nyeri perut dan diare atau nyeri berkemih dan pendarahan. Menurut Chin (2000), schistosomiasis atau demam keong adalah infeksi sejenis cacing trematoda baik oleh cacing jantan maupun cacing betina yang hidup dalam pembuluh darah vena mesenterika atau pembuluh darah vena kandung kemih dari hospes selama siklus hidup bertahun-tahun. Sedangkan di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari tiga cacing Schistosoma yang menginfeksi manusia yaitu Schistosoma japonicum.

Liver pathology and collagen deposition after S. japonicum infected controls and the vaccinated mice (Wang, X et al. 2008)
Liver pathology and collagen deposition after S. japonicum infected controls and the vaccinated mice (Wang, X et al. 2008)

Menurut Sibadu (2004), di Indonesia schistosomiasis disebabkan oleh Schistosoma japonicum yang ditemukan endemik di dataran tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu Sulawesi Tengah. Berdasarkan penelitia, penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Muller dan Tesch pada tahun 1937 dimana ditemukan kasus pada laki-laki yang berumur 35 tahun yang berasal dari Desa Tomado yang kemudian meninggal di Rumah Sakit di Palu, Sulawesi Tengah. Pada tahun yang sama, Desa Tomado dinyatakan sebagai daerah endemis schistosomiasis oleh Brug dan Tesch, akan tetapi hospes perantara cacing penyebab penyakit tersebut baru ditemukan pada tahun 1971 yaitu siput Oncomelania di persawahan Paku, Desa Anca, Daerah Lindu. Davis dan Carney menamakannya Oncomelania hupensis lindoensis pada tahun 1973

Masalah schistosomiasis cukup kompleks karena untuk melakukan pemberantasan harus melibatkan banyak faktor, dengan demikian pengobatan masal tanpa diikuti oleh pemberantasan hospes perantara tidak akan mungkin menghilangkan penyakit tersebut untuk waktu yang lama, lebih lagi schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi (Sudomo, 2008).

Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang ditemukan pada manusia, yaitu: Schistosoma japonicum, Schistosoma. haematobium dan Schistosoma mansoni (Miyazaki, 1991). Penyakit ini dapat didiagnosis dengan menemukan cacing pada waktu pemeriksaan jaringan dengan cara biopsi hati dan biopsi rektal hospes definitif maupun pembedahan hospes reservoir atau dengan menemukan telur dalam feses.

Daur Hidup Schistosoma japonicum, dimulai ketika terjadi proses infeksi pada manusia. Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cercaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk kemudian ditemukan di dalam tinja. Telur menetas dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong O.h. lindoensis dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan cercaria (Hadidjaja, 2000).

Menurut Hadidjaja (2000), patogenesis Schistosoma japonicum, akan menyebabkan perubahan-perubahan karena infeksi tiga stadium cacing Schistosoma japonicum yaitu cercaria, cacing dewasa dan telur. Pada saat cercaria menembus kulit terjadi perubahan pada kulit berupa eritema dan papula. Perubahan tersebut disertai rasa gatal dan panas. Bila cercaria yang masuk ke dalam kulit dengan jumlah yang banyak, maka akan terjadi dermatitis. Gejala paru timbul ketika schistosomula mencapai paru yaitu dengan timbulnya batuk dan terkadang disertai dahak. Pada beberapa kasus, terkadang batuk bercampur dengan sedikit darah. Gejala paru tersebut dapat menjadi berat sehingga timbul serangan asma.

Manifestasi toksik mulai timbul antara minggu ke-2 sampai minggu ke-6 setelah terjadi infeksi. Pada stadium ini timbul gejala seperti lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh dan diare. Beratnya gej ala tergantung dari banyak atau sedikitnya cercaria yang masuk. Pada infeksi yang cukup berat dapat timbul demam tinggi. Sedangkan stadium akut dimulai sejak cacing betina bertelur. Gej ala berat yang timbul adalah hepatomegali dan splenomegali yang timbul 6 8 bulan setelah cercaria masuk.

Stadium menahun terjadi pada stadium lanjut. Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gej ala yang timbul yaitu splenomegali, edema pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditentukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan karena pecahnya varises pada esofagus.

Menurut Zaman dan Keong (1998), kelainan patologi schistosomiasis terutama disebabkan jumlah telurnya. Reaksi hospes terhadap telur, gambaran klinik serta besarnya kerusakan pada schistosomiasis bervariasi. Hal tersebut berhubungan dengan jumlah telur yang ada dalam jaringan atau organ tubuh.

Epidemiologi Schistosoma japonicum

Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar dengan prevalensi pada laki-laki umumnya lebih tinggi daripada wanita. Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai reservoir. Salah satu hewan yang penting adalah berbagai spesies tikus sawah (Rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini (Hadidjaja, 2000).

Menurut Davis (1996), schistosoma japonicum pertama kali ditemukan pada vena porta seekor kucing oleh Katsurada pada tahun 1904. Pada tahun 1909 sampai 1915 biologi cacing ini seperti siklus hidup dan patologinya telah digambarkan dan dijelaskan oleh peneliti Jepang dan peneliti-peneliti dari negara lainnya. Gambaran klinis penyakit ini diketahui pada permulaan tahun abad ke 20 di China dan Philipina sedangkan di Indonesia baru diketahui pada tahun 1930.

Cacing Schistosoma membutuhkan dua hospes yaitu hospes definitif dan hospes perantara untuk tahap perkembangbiakannya secara sexual dan asexual dengan sempurna. Hospes definitif yaitu manusia dan berbagai binatang mamalia yang berperan sebagai reservoir sedangkan hospes perantaranya yaitu sejenis siput amfibi. Di Indonesia, siput Oncomelania ditemukan pada tahun 1971 oleh Carney. Siput tersebut dinamakan oleh Davis dan Carney tahun 1973 sebagai Oncomelania hupensis lindoensis.

Di Dataran Lindu, O.h. lindoensis ditemukan di sekitar sistem pengairan Sungai Gumbasa sedangkan di Dataran Tinggi Napu, Oncomelania ditemukan di sekitar sistem pengairan Sungai Lariang (Sudomo & Carney, 1974). Habitat siput ini hidup di daerah seperti bekas sawah, saluran air dan daerah yang alami seperti tempat becek yang terlindung, di tepi danau, di tepi hutan dan di dalam hutan di bawah pohon. Sebagian besar populasi Oncomelania ditemukan di daerah persawahan yang tidak diolah dengan karakteristik tanah yang berlumpur. Adanya rumput liar yang tinggi digunakan Oncomelania untuk perlindungan. Pada daerah yang alami, Oncomelania ditemukan di hutan. Pada umumnya Oncomelania ditemukan berkelompok di tanah lumpur atau menempel pada substrat (Sudomo & Carney, 1974).

Saat ini, strategi pengendalian Schistosomiasis  terutama didasarkan pada pengobatan penderita yang terinfeksi. Namun, terapi obat tidak mencegah individu dari reinfeksi. Selain itu, telah dilaporkan terjadinya perkembangan resistensi parasit terhadap obat yang digunakan dalam kemoterapi massal (Wang, X.et al. 2008).

Konsep pencegahan efektif yang ditawarkan untuk menghindari schistosomiasis adalah dengan menghindari kontak pada tempat yang beresiko terdapat schistosomes, seperti di air alam di daerah yang diketahui mengandung schistosomes. Sedangkan pemberantasan schistosomiasis antara lain dilakukan dengan  pengobatan penderita menggunakan Niridazole dan pemberantasan siput penular (O. hupensis lindoensis) dengan molusisida dan agroengineering.
Masalah schistosomiasis cukup kompleks. Selain  dengan melakukan pengobatan massal juga harus diikuti dengan pemberantasan hospes. Selain itu schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi.

Refference, antara lain

  • Wang, X, et al. 2008. The protective efficacy aganist Schistosoma japonicum infection by immunization with DNA vaccine and levamisole as adjuvant in mice. Vaccine, 2008-03-28, Volume 26, Issue 15, Pages 1832-1845. Elsevier Ltd
  • Chin, J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
  • Davis, A. 1996. Schistosomiasis. Manson ’s Tropical Disease..
  • Hadidjaja, P. 2000. Trematoda Darah. Parasitologi Kedokteran. FKUI
  • Miyazaki, I. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis.
  • Sibadu, A. 2004. Pengaruh Pekerjaan, Status Gizi, Pemanfaatan Jamban Keluarga dan Pemanfaatan Sarana Air Bersih Terhadap Reinfeksi Schistosomiasis Japonica Pasca Terapi di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2002. Tesis Master Universitas Airlangga. Indonesia.
  • Sudomo, M. 2008. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan. Balitbangkes.
  • Sudomo, M. & W.P Carney. 1974. Precontrol Investigation of Schistosomiasis in Central Sulawesi. Buletin Penelitian Kesehatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Indonesian Public Health Portal